Siapa yang
tidak memiliki rasa aman, tidak mungkin dapat memberi atau menyalurkan rasa itu
kepada pihak lain, karena Allah swt. menegaskan dirir.ya sebagai pemberi rasa
aman, sekaligus menuntut agar rasa aman yang diperoleh itu disebarkan ke suluruh
makhluk.
Rasa aman bagi setiap pemeluk agama diperoleh melalui keyakinan
tentang kesesuaian sikap sang pemeluk dengan kehendak dan petunjuk Tuhan yang
dipercayainya. Tentu saja, pemeluk setiap agama memiliki keyakinannya Mustahil
akan tercipta rasa aman bila keyakinan itu terusik, ba k oleh yang bersangkutan
se.idiri melalui rasa was-was dan ragu, lebih-lebih oleh orang lain.
Hal tersebut terjadi karena rasa aman hakiki adalah yang bersemai
di dalam hati. Agaknya. inilah yang menjadi sebab utama sehingga Tuhan enggan
mengnsung nurani, dengan menolak pemaksaan akidah serta tidak mviierima
pernyataan iman yang tidak lahir dari lubuk hati seseorang.
"Tidak ada paksaan untuk (memeluk) agama
(Islam); sesungguhnya telahjelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. (QS. al-Baqarah [2]: 256)
Di tempat lain
dinyatakan-Nya bahwa:
"Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah
beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah engkau (hendak)
memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang mukmin?" (QS. Yunus [10]: 99)
Dalam konteks
memelihara keamanan dan rasa aman itu pula, al-Qur'an memerintahkan untuk tidak
saling memaki dan menghina agama dan sembahan siapa pun:
"Dan
janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, maka
(akibatnya) mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.
Demikianlah Kami perindah bagi setiap umat amal mereka. Kemudian kepada Tuhan
merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu
mereka kerjakan. (QS. al-An'am [6]: 108)
Larangan memaki tuhan-tun'an dan kepercayaan pihak lain merupakan
tuntunan agama, guna memelihara kesucian agama-………………………………………………………….
antarumat
beragama. Manusia sangat mudah terpancing emosinya bila agama dan
kepercayaannya disinggung. Ini merupakan tabiat manusia, apa pun kedudukan
sosial atau tingkat pengetahuannya, karena agama bersemi di dalam hati
penganutnya, sedang hati adalah sumber emosi. Berbeda dengan pengetahuan, yang
mengandalkan akal dan pikiran. Karena itu, dengan mudah seseorang mengubah
pendapat ilmiahnya, tetapi sangat sulit mengubah kepercayaannya walau
bukti-bukti kekeliruan kepercayaan telah terhidang kepadanya.
Di sisi lain, maki-memaki tidak menghasilkan sesuatu yang
bermanfaat. Agama Islam datang membuktikan kebenaran, sedang makian biasanya
ditempuh oleh mereka yang lemah. Sebaliknya, dengan makian boleh jadi kebatilan
dapat tampak di hadapan orang-orang awam sebagai pemenang. Karena itu, suara
keras si pemaki dan kekotoran lidahnya tidak pantas dilakukan oleh seorang
Muslim yang harus memelihara lidah dan tingkah lakunya. Di sisi lain, makian
dapat menimbulkan antipati terhadap yang memaki, sehingga jika hal itu
dilakukan oleh seorang Muslim, maka yang dimaki akan semakin menjauh.
Di samping melarang maki-memaki, al-Qur'an juga mengingatkan
tentang perlunya bekerja sama dalam kebajikan dan pemeliharaan tempat-tempat
suci. QS. al-Hajj [22]: 40 rnenegaskan bahwa:
"Dan
sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang
lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah
ibadat orang Yahudi dan masjid-
masjid,
yang di dalamnya banyak ………………………………………………………………………
Allah
pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar
Maha Kuat lagiMaha Perkasa".
Dari ayat di atas dipahami bahwa Allah swt. tidak menghendaki
kehancuran rumah-rumah ibadat, maka dari sini para ulama menetapkan bahwa
menjadi kewajiban umat Islam, untuk memeliharanya. Bukan saja memelihara
masjid-masjid, tetapi juga rumah-rumah ibadat umat yang lain, seperti gereja
dan sinagog.
Dalam buku Futuh al-Buldan dikemukakan bahwa Hassan bin Malik mengadukan Kepada Khalifah Umar
Ibnu Abdul Aziz (681-720 M) bahwa ia diberikan oleh salah seorang penguasa satu
bangunan yang berfungsi sebagai gereja, tetapi umat Nasrani enggan
melepaskannya. Umar kemudian menetapkan bahwa gereja tersebut harus tetap
berfungsi sebagai gereja. Juga disebutkan dalam buku itu bahwa Mu'awiyah bin
Abi Sufyan merencanakan menggabung bangunan Gereja Yuhanna ke dalam Masjid
Jami' di Damaskus, tetapi umat Nasrani tidak setuju, maka dia mengurungkan
niatnya, lalu penguasa sesudahnya, Abdul Malik bin Marwan, bermaksud sama tapi
kali ini dengan membayar ganti rugi tawarannya pun ditolak oleh umat Nasrani.
Penguasa sesudahnya Abdul Aziz bin Abdul Malik melanjutkan upaya dengan
kesediaan memberi ganti rugi tak batas, dan ketika ini pun ditampik, ia
memerintahkan menghancurkan bangunan itu dan menggabungnya ke masjid. Ketika
Umar ibnu Abdul Aziz berkuasa, umat Nasrani mengadu kepada beliau, maka beliau
menerima pengaduan itu dan memerintahkan untuk menjadikan area yang dimasukkan
ke masjid itu kembali menjadi gereja.[1]
Pakar-pakar
tafsir dan hukum Islam yang melarang merubuhkan gereja-gereja ahl al-dzimmali, atau menjualnya, demikian juga rumah-
……………………………………………………………
memberi
kebebasan kepada non-Muslim melaksanakan syariat agama mereka, membunyikan
lonceng-'onceng gereja mereka dengan demikian: "Tidak boleh meruntuhkan rumah ibadah mereka, atau merusak
salib-salib mereka. Bahkan, istri seorang Muslim yang menganut agama Yahudi dan
Nasrani, tidak boleh dilarang oleh suaminya melaksanakan ajaran agamanya".[2]
Demikian kesimpulan Sayyid Quthub.
Kita dapat berkata, bahwa karena ajaran Islam memberi kebebasan
beragama kepada setiap anggota masyarakatnya, maka adalah menjadi kewajiban
setiap umat Islam untuk ikut memelihara kebebasan dan ketenangan umat lain
dalam melaksanakan ajaran agamanya. Umat Islam tidak boleh mengganggu mereka,
sebagaimana umat Islam wajar untuk menuntut bahkan mengambil langkah agar
mereka tidak diganggu oleh siapapun."
Demi memelihaja rasa aman agak tidak terusik oleh siapapun
termasuk oleh diri pemeluk agama itu sendiri maka Allah Yang Maha Kuasa itu
menoleransi bisikan-bisikan hati yang sesekali muncul dalam benak seseorang.
Sekali lagi, Dia menoleransinya karena agama yang ditetapkan-Nya tidak ingin
mengusik rasa aman dan damai manusia walau oleh dirinya sendiri.
Ketika ada seseorang yang mengucapkan salam, dibunuh oleh seorang
Muslim, karena sang Muslim menduga bahwa yang bersangkutan hanya ingin menutupi
kekufurannya agar selamat, ketika itu terjadi-turun firman Allah mengecam sang
Muslim sambil memberi petunjuk.
"Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka
telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan
"salam"kepadamu: "Kamu bukan seorang mu'min" (lalu kamu
membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di
sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu
Allah menganugerahkan ni'mat-Nya atas kamu, maka telitilah. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.. (QS. an-Nisa'
[4]: 94)
Firman-Nya, "Begitu jugalah
keadaan kamu dahulu" dipahami oleh sementara pakar tafsir
dalam arti: Dulu nurani kalian juga tidak percaya pada Islam, tetapi Allah
membiarkan kamu, karena Dia tidak bermaksud mengusung nurani, atau
menghilangkan rasa aman dalam jiwa kamu.
Sementara itu
ada sahabat Nabi yang merasakan sesuatu yang mengganjal dalam hatinya menyangkut
Tuhan. "Wahai Nabi ada suatu ganjalan dalam jiwa kami. Lebih baik rasanya
kami terjerumus ke jurang yang dalam daripada mengucapkannya". Nabi saw.
bertanya, "Apakah kalian telah merasakan itu?" Mereka mengiyakan lalu
Nabi saw. berkomentar, "Aihamdulillah, itulah iman, Alhamdulillah Tuhan
telah menggagalkan tipu daya setan sehingga hanya menjadikannya keraguan. Nabi
pun pernah ragu dan kita lebih wajar ragu daripada beliau". Demikian tiga
komentar Nabi saw. Kedua teks terakhir yang disebut di atas menunjukkan bahwa
Allah sangat menghargai nurani, sampai-sampai "bisikan-bisikan hati yang
tidak wajar pun menyangkut diri-Nya dibiarkannya dengan harapan apa yang tidak
wajar segera akan berlalu.
Demi terpeliharanya rasa aman itu pula, gangguan kepada pihak lain
harus dihindari, kendati gangguan itu tidak diketahui atau dirasakan oleh yang
diganggu. Karena itu, dilarangnya apa yang diistilahkan dengan ghibah, yakni membicarakan sesuatu yang tidak
disenangi oleh yang dibicarakan, kendati apa yang dibicarakan itu benar.
Rasa aman yang
bersumber dari lubuk jiwa yang dalam akan meningkat ke rasa aman dan damai pada
tingkat keluarga kecil, lalu masyarakat, dan bangsa hingga seluruh persada
bumi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar