Rabu, 26 Desember 2012

BENTURAN ANTARA BARAT DAN ISLAM

Sejak tiga dekade terakhir di penghujung milenium kedua, tepatnya pertengahan tahun tujuh puluhan, masyarakat internasional dikejutkan oleh berbagai tindakun kekerasan, khususnya aksi teror terhadap berbagai kepentingan Amerika Serikat[1] dan Israel. Aksi-aksi tersebut terus meluas seiring dengan datangnya milenium ketiga yang ditandai dengan serangan 11 September 2001 terhadap gedung WTC dan Pentagon. Islam dan umat Islam menjadi pihak yang tertuduh dalam aksi tersebut dan yang sebelumnya, dan dianggap sebagai ancaman" bagi kehidupan masyarakat dunia. Berbagai stigma dilekatkan. Islam identik dengan kekerasan, terorisme, fundamentalisme, radikalisme, dan sebagainya. Stigmatisasi ini seakan membenarkan pandangan beberapa pemikir Barat yang berpandangan Islam sebagai ancaman pasca-runtuhnya Soviet, seperti Samuel Huntington dengan tesisnya "the clash of civilization".

Dengan menggalang kekuatan internasional, AS melancarkan kampanye anti-teror. Atas nama itu Afghanistan dan Irak diserang. Berbagai organisasi dan gerakan keagamaan juga menjadi sasaran, terutama jaringan al-Qaeda internasional. Tuduhan tersebut menemukan relevansinya dengan pernyataan para pelaku yang menyebutkan motivasi keagamaan dibalik aksi mereka, sehingga banyak pengamat mengaitkan gerakan Islam garis keras dengan terorisme dan kekerasan. Kendati banyak faktor yang melatar belakanginya, seperti politik. ekonomi, sosial, psikologi, dan lainnya, tetapi faktor keyakinan dan pemahaman. Terhadap beberapa doktrin keagamaan agaknya yang paling dominan. Seakan perlawanan menentang hegemoni suatu kekuatan tertentu, yang notabene berbeda agama, ialam berbagai dimensi kehidupan mendapat legitimasi dari teks-teks keagamaan, tentunya dengan pemahaman yang literal (nashshl), parsial (juz'i) dan ekstrem/berlebihan (tatharruf/ghuluw). Sehingga, terkesan konflik bukan lagi karena akumulasi berbagai kekecewaan akibat hegemoni pihak tertentu, tetapi seakan meluas kepada konflik agama.

Fenomena meningkatnya gairah keagamaan, untuk tidak mengatakan kebangkitan Islam, di kalangan muda seperti disinyalir oleh Syekh Yusuf al-Qaradhawi juga telah diwarnai dengan sikap berlebihan (al-ghuluw) dan ekstremitas (at-tatharruf)[2] sehingga tuduhan banyak kalangan bahwa Islam menganjurkan kekerasan dan terorisme menjadi semakin melekat. Konsep menegakkan kebenaran dan memberantas kemungkaran (amar makruf nahi munkar) bagi sebagian kalangan menjadi dalih berbagai aksi kekerasan. Islam dan umat Islam 'seakan' menjadi tidak ramah lagi terhadap penganut agama lain. Padahal, sekian banyak teks keagamaan dalam Islam mengecam keras segala bentuk kekerasan dan terorisme seperti dalam pandangan banyak kalangan Barat.

            Sejujurnya, kita dapat mengatakan, pandangan-pandangan seperti itu lahir disebabkan, setidaknya, oleh dua hal: 1) ketidaktahuan Barat tentang Islam yang sebenarnya, karena pengetahuan Barat tentang Islam diwarnai oleh buku-buku keislaman yang ditulis oleh orientalis pada masa penjajahan dahulu; 2) kerancuan dalam memahami konsep jihad dan perang dalam Islam dan mempersamakannya dengan terorisme dalam pandangan mereka.

            Atas dasar itu, merupakan suatu kewajiban bagi umat Islam untuk memahami lebih jauh lagi ajaran Islam, sebelum kita memahamkan orang lain dan membuktikan dengan tindakan nyata bahwa Islam adalah agama kedamaian yang akan menebar kasih di muka bumi. Kami utus engkau (hai Muhammad) tidak lain untuk menebar rasa kasih bagi semesta alam. (QS. al-Anbiya' [21]: 107)


Minggu, 16 Desember 2012

KONTRADIKSI AYAT PERANG DAN AYAT DAMAI

“Apabila sudah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, tangkaplah mereka, tawanlah mereka, dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Taubah [9]: 5)
           
        Ayat tersebut di atas adalah satu dari sejumlah ayat pada permulaan QS. At-Taubah yang membicarakan pemutusan hubungan (bara’ah) dari Allah dan Rasul-Nya kepada orang-orang musyrik (ayat 1-16). Dengan pemutusan hubungan itu, tidak berlaku perjanjian yang telah dijalin oleh orang-orang Muslim dengan orang-orang musyrik. Yang dimaksud ialah perjanjian untuk tidak saling berperang. Orang-orang musyrik diberi tengang waktu empat bulan untuk berfikir, apakah akan tunduk kepada kekuasaan imat Islam atau melawan. Selama empat bulan itu, orang-orang muslim tidak boleh memerangi atau mengganggu orang-orang musyrik. Sesudah habis masa tengang waktu itu, orang Islam boleh memerangi orang musyrik, melawan mereka dan mengintai mereka keberadaan mereka di mana pun berada, sehinga keadaan menjadi aman  dan umat Islam tidak tertanggu dalam menjalankan agama oleh kajahatan orang-orang musyrik. Akan tetapi, apabila mereka bertaubat, menjalankan shalat, dan membayar zakat, maka mereka diberi kebegbasan keselamatan.
           
         Pemutusan hubungan itu diumumkan kepada orang-orang musyrik pada bulan Haji tahun ke-9 H. Ketika itu, umat Islam sedang menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Rasulullah saw. mengangkat sahabat Abu Bakar menjadi pemimpin rombongan dari madinah menuju ke Mekkah. Setelah keberangkatan rombongan, turunlah ayat-ayat Bara’ah itu dan Rasulullah saw. mengutus sahabat Ali bin Abi Thalib agar mengumumkannya kepada semua pihak yaitu kepada kaum muslim dan kaum musyrik yang pada saat itu sedang berkumpul untuk melaksanakan haji sesuai kebiasaan mereka. Pada hari yang disebut dalam Al-Qur’an hari Haji Akbar, Ali bin Abi Thalib menyampaikan pengumuman tentang pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya kepada kaum musyrik.

Pengumuman itu disampaikan pada hari-hari ketika Haji Akbar dilaksanakan pada tahun ke-9 H. ada yang berpendapat bahwa pengumuman itu disampaikan pada hari Nahar, tanggal 10 Dzulhijah. Ada juga yang berpendapat bahwa pengumuman itu disampaikan pada hari ‘arafah, tanggal 9 Dzulhijah. Adapun yang dimaksud dengan Haji Akbar (Haji Besar) ialah ibadah haji yang dilaksanakan p[ada bulan Dzulhijah, dibedakan dengan umrah disebut haji ashghar (haji kecil), yang boleh dilaksanakan sepanjang tahun. Inilah yang dimaksud dengan Haji Akbar. Di dalam masyarakat terdapat pemahaman bahwa yang dimaksud dengan haji akbar ialah apabila wuquf jatuh pada hari jumat. Pendapat tersebut tidak ditemukan dasarnya di dalam ajaran Islam.

 Marilah kita kembali kepada surah at-Taubah ayat 5 tersebut di atas. “ Faidza insalakha al-asyhur al-hurum faqtulu al-musyrikin haitsu wajadtumuhum…”, (Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kamu jumpai mereka), baik di tanah Haram maupun di luar tanah haram. Adapun yang di maksud dengan “asyhur al-hurum” ialah empat bulan merujuk kepada ayat 2 surah at-taubah, “fasihu fi al-ardhi arba’ata asyhur”, (empat bulan sesudah pengumuman pemutusan hubungan), dimulai tanggal 10 Dzulhijah sampai 10 Rabi’ul Akhir. Selama empat bulan itu, kaum Muslim memperoleh jaminan keselamatan. Sesudah masa tenggang waktu empat bulan itu usai, berlaku keadaan perang sebagaimana sebelumnya. “Wa’akhudzhum, wahshuruhumwaq’udu lahum kulla marshad” (Dan tangkaplah mereka,tawanlah mereka dan intailah ditempat pengintaian).  Ayat tersebut berisi perintah agar bermacam-macam cara yang tepat dalam strategi perang dilakukan sehingga kaum musyrik tidak memunyai kekuatan dan tidak ada jalan untuk melakukan kejahatan atau melangar aturan yang berlaku dalam ketentuan pemutusan hubungan. Di antaranya bahwa mereka tidak diperbolehkan melaksanakan haji dan berthawaf tanpa busana. “ Fain tabu wa aqamush shalata wa atuz zakata fakhallu sabilahum.” Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat,maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Ayat ini memberikan pengertian agar perang dihentikan apabila kaum muslim bertaubat, yakni bertaubat dari kemusyrikan yang menjadi penyebab memusuhi umat Islam, dan taubat itu dibuktikan kesungguhannya dengan mengerjakan shalat dan membayar zakat. ayat ini diakhiri dengan firman Allah,” Inna Allah Ghafurun rahim” (sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang), yakni mengampuni dosa-dosa kaum musyrik apabila mereka bertaubat, dan memberikan kasih saying kepada hamba-Nya yang beriman.

Ayat tersebut diatas dinamakan ayat perang (ayat al-qital) karena mengandung perintah berperang. Selain ayat tersebut terdapat beberapa ayat lain yang mengandung perintah berperang, antara lain surah at-taubah [9]:29; al-baqoroh [2]:190;al-anfal [8]:39 dan sebagainya. Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa ayat-ayat perang tersebut di atas me-mansukh-kan  dalam arti membatalkan berlakunya ayat-ayat yang mengandung perintah member maaf kepada orang yang tidak beriman(ayat al-afw). Menurut sebagian musafir, yang dikutif pendapatnya oleh Ibn Katsir, bahwa surah al-Baqoroh [2]: 109 (fa’fu washfahu hatta ya’tiya Allah bi Amrihi) di-nasakh oleh at-Taubah [9]:5 (faqtulu al-musyrikina haitsu wajadtumuhum)dan at-taubah [9]:29 (Qatilu alladzina layu’minuna bi Allah wa bi al-yawm al-akhir). Demikian pendapat Ali bin Abi thalhah dari Ibn ‘Abbas. Demikian juga pendapat Abul ‘Aliyah ar-Rabi’ bin Anas,Qatadah dan as-Suddi, bahwa ayat al-afw tersebut di atas di-mansukh oleh ayat al-sayf. [1]

Perlu dijelaskan bahwa ayat al-afw, yaitu ayat yang mengandung arti pemberian maaf kepada orang-orang kafir, diturunkan dalam periode Mekkah, ketika kondisi umat Islam lemah dan jumlahnya sedikit. Pada waktu itu, diperintahkan agar mereka bersabar dan menahan diri betapapun beratnya menghadapi penganiayaan kaum musyrik.sedangkan ayat qital diturunkan ketika kondisi umat Islam telah kuat, dan banyak jumlahnya. Mereka diperintahkan agar memerangi orang musyrik sebagaimana orang-orang musyrik itu memerangi mereka. Jadi,dalam hal ini tidak ada hukum yang dibatalkan, tetapi penundaan berlakunya perintah melakukan suatu perbuatan yaitu peperangan untuk melawan musuh-musuh Islam karena perbedaan dari kondisi-kondisi yang terjadi pada umat Islam ketika itu.

Dalam menjelaskan kaitan antara ayat al-afw dan ayat al-qital, as-suyuthi berkata di dalam al-itqan bahwa persoalan yang terjadi di sini sesungguhnya bukanlah naskh (pembatalan hukum ) tetapi penundaan (al-mansa’) merujuk kepada firman Allah:
“Kami tidak menasakhkan satu ayat pun atau kami menjangguhkan (hukumnya) (kecuali) kami datangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah engkau mengetahui sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu?.”(QS.al-Baqoroh [2]:106)
          
     Lebih lanjut, as-Suyuti menjelaskan bahwa Surah al-Baqoroh [2]:109 mengandung makna menunjuk kepada waktu dan keadaan tertentu yang hendak dicapai. Apa yang menunjuk kepada waktu dan tujuan adalah muhkam, tidak dibatalkan, karena ditentukan waktunya. Sesuatu yang ditentukan waktunya tidak ada naskh di dalamnya. Demikian as-Suyuthi menjelaskan di dalam kitabnya,al-Itqan:
“syekh Syaltut mengemukakan di dalam kitabnya al-Qur’an wa al-Qital, ada sebagian orang yang secara keliru memahami bahwa ayat-ayat al-Qur’an itu mengandung kontradiksi. Di satu pihak, ada ayat-ayat yang mengandung perintah perang; ada yang bersifat defensive;dan ada yang bersifat umum tanpa dibatasi kepada orang-orang yang memerangi umat Islam. Di lain pihak, ada ayat-ayat yang menganjurkan perdamaian dan member maaf. Dengan pemahaman itu, orang-orang yang membenci Islam berkata bahwa kitab al-Quran tidak mungkin merupakan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi. Di lain pihak, terdapat pendapat bahwa sebagian ayat-ayat al-Quran menaskhkan ayat-ayat lainnya.dalam hal ini ayat-ayat qital yang diturunkan ketika Islam telah kuat dan kota Mekah telah ditaklikan itu memansukhkan ayat-ayat pemberian maaf dan perdamaian dan ayat-ayat yang mengandung pengertian tidak ada pemaksaan dalam agama. Selanjutnya, pemahaman tersebut membawa kepada pendapat pendapat bahwa Islam adalah agama yang disebarluaskan dengan kekerasan melalui peperangan.”
            
          Dalam memahami ayat al-Qur’an, hendaknya akita tidak memahaminya sepotong-sepotong, tetapi hendaknya memahami suatu ayat dalam kaitannya dengan ayat lain, dengan pemahaman yang utuh dan komprehensif. Setiap ayat hendaknya kita pahami sesuai dengan konteknya tanpa terlepas dari ayat lain yang berkaitan. Didapati bahwa di dalam al-Qur’an terdapat perintah berperang tetapi juga dijelaskan sebab-sebabnya dan tujuan yang hendak dicapai dengan peprangan itu. Dalam pada itu, kita mendapati pula tentang ayat-ayat yang menjelaskan tentang watak Islam sebagai agama dakwah yang menyatakan bahwa tidak ada pemaksaan di dalam agama. Tidak ada satu ayat pun di dalam al-Qur’an yang mengatakan bahwa peprangan itu bertujuan untuk memaksa orang untuk masuk Islam. Demikian salah satu kesimpulan dari kajian Syekh Mahmud Syaltut, di dalam kitabnya al-Qur’an wa al Qital. Syekh Syaltut menjelaskan pula bahwa tujuan peprangan adalah untuk menghentikan kezaliman dan penganiayaan, untuk mewujudkan keamanan dan ketentraman dalam beragama. Dalam keadaan tidak diperangi tidak dianiaya ataupun di musuhi, umat Islam tidak akan memerangi umat lainnya, sesuai dengan ajaran al-Quran yang menyatakan tidak ada paksaan dalam agam,yang mengajak manusia kepada jalan Allah dengan hikmah (kebenaran, kebijaksanaan, ilmu pengetahuan), maw’izhah hasanah (tutur kata yang baik), dan mujadalah billati hiya ahsan (dialog dan perdebatan dengan cara yang terbaik). Ayat-ayat perang dan ayat-ayat member maaf, dakwah,dan yang menyatakan tidak ada paksaan dalam agama bukanlah ayat-ayat al-Quran yang  bertentangan satu dengan yang lain, tetapi masing-masing dari ayat itu harus diletakkan pada konteksnya. Jika kita memahami ayat-ayat al-Quran yang bertentangan satu dengan yang lain, tetapi masing-masing dari ayat itu harus diletakkan pada konteksnya. Jika kita memahami ayat-ayat al-Quran itu secara utuh, kita tidak akan mendapati ada kontradiksi di dalamnya. Mengenai hal ini, Allah berfirman di dalam Al-Quran:
Maka apakah mereka tidak memerhatikan Al-Quran? Seandainya al-Quran itu bukan dari sisi Allah, niscaya mereka mendapati di dalamnya pertentangan yang banyak.” (QS.al-Nisa[4]:82)


[1] Tafsir Ibn Katsir, jilid I, h.155-156

Selasa, 11 Desember 2012

Apa itu Kekerasan dan Terorisme

           Dalam Ramus Besar Bahasa Indonesia kekerasan didefinisikan dengan perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.[1] Dalam bahasa Arab, kekerasan disebut dengan al-'unf, antonim al-rifq yang berarti lemah lembut dan kasih sayang. Pakar hukum Universitas al-Azhar, Abdullah an-Najjar, mendefinisikan al-'unf dengan penggunaan kekuatan secara ilegal (main hakim sendiri) untuk memaksakan pendapat atau kehendak.[2]  Dari beberapa pengertian di atas, kekerasan melambangkan sebuah upaya merebut suatu tuntutan dengan kekuatan dan paksaan terhadap pihak lain. Cara seperti ini tentu tidak terpuji dalam pandangan agama-agama dan nilai-nilai kemanusiaan, sebab kekuatan akal, jiwa, dan harta yang seharusnya digunakan untuk hal-hal yang produktif bagi pengembangan diri dan masyarakat berubah menjadi kekuatan yang destruktif. Tetapi penggunaan kekerasan tidak selamanya tercela, yaitu bilamana digunakan untuk merebut hak yang terampas seperti pada perlawanan melawan penjajah atau memberantas kezaliman dalam masyarakat, terutama bila jalan damai tidak tercapai. Kekerasan menjadi tercela bilamana digunakan untuk membela satu hal yang dianggap benar dalam pandangan yang sempit, atau merebut hak yang sebenarnya dapat diperoleh tanpa melalui kekerasan.[3]

Sejarah kemanusiaan mencatat, seperti terekam dalam al-Qur'an, aksi kekerasan yang berupa pembunuhan pertama kali terjadi antara kedua anak Nabi Adam as; Qabil dan Habil. Al-Qur'an menceritakan itu agar fenomena kekerasan tidak terulang dan setiap aksi kekerasan pasti akan menimbulkan goncangan jiwa dan penyesalan yang mendalam dalam diri pelakunya seperti dialami oleh Qabil (Baca Ja’sah tersebut dalam QS. al-Ma'idah [5]: 27-31). Karena itu, al-Qur'an memberi ketentuan, membunuh satu jiwa tanpa alasan yang benar sama halnya dengan membunuh seluruh/ umat manusia (QS. al-Ma'idah [5]: 32). Dalam sejarah kenabian, kekerasan dialami oleh banyak nabi dari kalangan Bani Israil. Tidak sedikit para nabi yang dibunuh dalam menjalankan tugas kenabian (QS. al-Baqarah [2]: 61; QS. Ali 'Imran [3]: 21).

Dalam konteks ayat-aya di atas. al-Qur'an berbicara tentang kekerasan dalam pengertian negatif yang dikecamnya meski kata al-'unf sendiri tidak digunakan dalam al-Qur'an. Penggunaan kata al-'unf tampak jelas dalam beberapa Hadits Nabi saw. seperti:
"Sesungguhnya Allah sivt. tidak mengutusku untuk melakukan kekerasan, tetapi untuk mengajarkan dan memudahkan”.[4]
"Sesungguhnya Allah swt. Mahalembut/Mahakasih-sayang. Melalui sikap kasih sayang Allah akan mendatangkan banyak hal positif, tidak seperti halnya pada kekerasan.”[5]

Suatu ketika sekelompok orang Yahudi mendatangi Nabi saw dan mengucapkan salam dengan diplesetkan menjadi, as-Samu Alaikum (kematian/kecelakaan untuk kalian). Dengan marah Aisyah, istri   beliau   menjawab:   Alaykum,   wa   la'anakumulldh wa ghadhiballahu 'alaikum (Kecelakaan untuk kalian, semoga Allah melaknat dan memurkai kalian). Lalu Rasulullah mengingatkan Aisyah, "Kamu harus berlemah-lembut, jangan melakukan kekerasan (al-'unf) dan kekejian.[6]

Dari penjelasan al-Qur'an dan Hadits di atas tampak jelas Islam sebagai agama yang antikekerasan terhadap siapa pun, termasuk yang berlainan agama. Salah satu bentuk kekerasan yang menimbulkan kengerian dan kepanikan masyarakat dunia saat ini adalah terorisme. Kepanikan tersebut mengakibatkan ketidakjelasan pada definisi terorisme itu sendiri, sehingga tidak jarang pemberantasan terorisme dilakukan dengan melakukan aksi teror lainnya. Meskipun dalam sejarah kemanusiaan aksi teror telah menjadi bagian dari fenomena, kekacauan politik yang ada, tetapi sebagian kalangan mengaitkannya dengan agama Islam dan peradaban Arab dan Islam. Padahal, terorisme adalah fenomena umum, tidak terkait dengan agama, budaya, dan identitas kelompok tertentu.

Istilah terorisme sendiri baru populer pada tahun 1793 sebagai 3 akibat Revolusi Prancis, tepatnya ketika Robespierre mengumumkan era baru yang disebut Reign of Terror (10 Maret 1793 - 27 Juli 1794).  Teror menjadi agenda penting para pengawal revolusi dan menjadi keputusan pemerintah untuk mengukuhkan stabilitas politik. Sasarannya bukan hanya lawan politik, tetapi juga tokoh-tokoh moderat, pedagang, agamawan, dan lain sebagainya. Selama berlangsung Revolusi Prancis, Robespierre dan yang sejalan dengannya seperti St. Just dan Couthon melancarkan kekerasan politik dengan membunuh 1366 penduduk Prancis, laki-laki dan perempuan, hanya dalam waktu 6 minggu terakhir dari masa teror.[7]

Dalam kamus Oxford, kata terrorist diartikan dengan orang yang melakukan kekerasan terorganisir untuk mencapai tujuan politik tertentu. Aksinya disebut terrorisme, yaitu penggunaan kekerasan dan kengerian atau ancaman, terutama untuk tujuan-tujuan politis.[8]

Dalam bahasa Arab, istilah vang populer untuk aksi ini adalah dan pelakunya disebut al-Irhdbi. Para penyusun al-Mu'jam al-Wasith memberikan arti al-Irhdbi dengan, "sifat yang dimiliki oleh mereka yang menempuh kekerasan dan menebar kecemasan untuk mewujudkan tujuan-tujuan politik".[9]  Al-lrhab dengan pengertian semacam ini tidak ditemukan dalam al-Qur'an dan kamus-kamus bahasa Arab klasik, sebab itu istilah baru yang belum dikenal pada masa lampau. Bahkan, penggunaan kata ini dalam bentuk derivasinya, turhibun atau lainnya, dalam al-Qur'an seperti pada QS. al-Anfal [8]: 60 bermakna positif. Sebab, melalui ayat ini Allah memerintahkan umat beriman untuk mempersiapkan diri dengan berbekal kekuatan apa saja yang dapat menggentarkan (turhibun) musuh-musuh Allah dan musuh-musuh mereka.
Tidak berbeda jauh dengan pengertian di atas, Kamus besar Bahasa Indonesia mendefinisikan teror dengan usaha menciptakan ketakutan, kengerian dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. Terorisme: penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik).

Organisasi-organisasi internasional, seperti PBB, mendefinisi-kannya dengan salah satu bentuk kekerasan terorganisir. Bentuknya, seperti disepakati masyarakat dunia, dapat berupa pembunuhan, penyiksaan, penculikan, penyanderaan tawanan, peledakan bom atau bahan peledak, dan lainnya yang dapat menjadi pesan pelaku teror. Aksi tersebut biasanya untuk tujuan politik, yaitu memaksa kekuatan politik tertentu, negara atau kelompok, agar mengambil kebijakan atau mengubahnya sesuai yang diinginkan pelaku.[10] Dalam Sidang Umum ke-83, tanggal 8 Desember 1998, PBB mengecam segala bentuk kekerasan aksi teror dengan alasan apa pun, termasuk yang bermotifkan politik, filsafat, akidah/keyakinan, ras, agama, dan lainnya.

Agen Rahasia Amerika (CIA) pada tahun 1980 mendefinisikan terorisme dengan; ancaman yang menggunakan kekerasan, atau menggunakan kekerasan untuk tujuan-tujuan politik, baik yang dilakukan oleh individu maupun kelompok, untuk kepentingan negara ataupun melawan negara. Masuk dalam definisi ini kelompok-kelompok yang ingin menggulingkan pemerintahan tertentu atau menghancurkan tatanan dunia internasional.

Definisi ini masih sangat umum, sehingga perlawanan rakyat untuk memperoleh hak-hak yang dirampas, seperti perjuangan bangsa Palestina dapat dikategorikan aksi terorisme. Karena itu para sarjana Muslim yang terhimpun dalam keanggotaan Majma' al-Fiqh al-Isldmi dalam sidang putaran ke-14 di Doha, Qatar, 8-13 Dzulqa'dah 1423 H/ll-16 Januari 2003, menegaskan bahwa terorisme adalah permusuhan, atau intimidasi, atau ancaman, baik fisik maupun psikis, yang dilakukan oleh negara, kelompok maupun perorangan, terhadap seseorang yang menyangkut keyakinan (agama), jiwa, harga diri, akal dan hartanya, tanpa alasan yang benar, melalui berbagai aksi yang merusak. Lembaga ini juga menegaskan, jihad dan upaya mati syahid untuk membela akidah, kebebasan/ kemerdekaan, harga diri bangsa dan tanah air bukanlah bentuk teror, tetapi upaya membela hak-hak prinsipil. Karena itu, bagi bangsa-bangsa yang tertindas atau terjajah harus melakukan berbagai upaya untuk memperoleh kemerdekaan.[11]

Dari paparan di atas tampak perbedaan yang cukup mendasar dalam mendefinisikan terorisme. Perbedaan itu mengakibatkan kekaburan makna yang sebenarnya, sebab suatu perjuangan rakyat untuk meraih kemerdekaan atau lepas dari ketertindasan dapat dinilai sebagai aksi teror oleh pihak lain. Demikian sebaliknya, aksi kekerasan dan kezaliman menjadi legal dengan dalih menumpas terorisme. Karena itu tak heran, kendati masyarakat dunia telah sepakat mengecam terorisme, tetapi upaya pemberantasannya dalam bentuk kerja sama internasional selalu gagal.

Namun, dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan beberapa ciri terorisme, antara lain: menciptakan suasana mencekam dan mengerikan, dilakukan secara terorganisir, bertujuan politik dan bersifat internasional. Untuk mengetahui sikap Islam terhadap kekerasan, apa pun bentuknya, terlebih dahulu akan dijelaskan beberapa istilah terkait dengan kekerasan dan terorisme dalam al-Qur'an.