Senin, 08 April 2013

Pendapat Para Mufasir



Mari kita mulai dari mufasir periode klasik yang dalma hal ini diwakili oleh Ibn Katsir dan Fakhruddin ar-Razi.  Nama yang terakhir ini memerikan komentar tentang ayat tersebut dengan menyatakan:
                    
“kondisi mereka dalam berpegang kepada kebatilan secara kokoh, dan ketegaran mereka dalam kekufuran, bahwa mereka itu juga berkeinginan agar millah mereka diikuti.  Mereka tidak rela dengan Kitab (al-Qur’an yang dibawa Rasulullah saw.), bahkan mereka berkeinginan mendapat persetujuan Rasul saw menyangkut keadaan mereka”.  Pernyataan ar-Razi ini kemudian ditutup dengan kesimpulan terhadap ayat tersebut yaitu “Demikianlah (Allah swt) menjelaskan kerasnya permusuhan mereka terhadap Rasul saw, serta menerangkan situasi yang mengakibatkan keputusasaan tentang kemungkinan mereka untuk masuk Islam.”5[1]

Dari kelompok kontemporer mufasir kenamaan dari Tunisia Thahir bin’Asyur akan kita kutip di sini.  Ketika menjelaskan kalimat hattâ tattabi’ millatahum (sampai engkau mengikuti millah mereka), ia memberi penjelasan yang agak mirip dengan ar-Razi di atas dengan menyatakan bahwa ungkapan terebut adalah kinâyah (kalimat yang mengandung makna tidak sesuai dengan bunyi teksnya) tentang keputusasaan orang-orang Yahudi dan Nasrani untuk masuk Islam ketika itu, karena mereka tidak rela kepada Rasul saw. kecuali kalu ia mengikuti millah/ tata cara mereka.  Ini berarti bahwa mereka tidak mungkin akan masuk agama Islam; karena kemungkinan Nabi saw. ikut agama mereka adalah sesuatu yang mustahil maka kerelaan mereka terhadap agama Rasul saw juga sesuatu yang mustahil.6[2]



Pandangan Al-Qur’an tentang Orang Yahudi dan Nasrani

Al-Qur’an menyebut kelompok orang Yahudi dan Nasrani dengan beberapa ungkapan.  Dan, setiap ungkapan memiliki penekanan makna tersendiri.  Apabila langsung digeneralisir tentu tidak tepat.  Beberapa istilah tersebut antara lain:
Ahl al-kitâb yang terulang sebanyak 31 kali;
Âtul kîtab terulang sebanyak 21 kali;
Aladzî âtainâ humul kitâb 13 kali;
Âtû nashîban minal kitâb terulang 13 kali;
Al- Yahûd terulang sebanyak 8 kali;
alladzî Hâdû frekuensinya sebanyak 10 kali;
an- Nashârâ terulang sebanyak 14 kali; dan
Bani/Banû Isrâ’il sebanyak 41 kali.

                Ayat di atas menggunakan kata Al- Yahûd dan an- Nashârâ untuk menunjuk dua komunitas non-Muslim terebut.  Apabila Al-Qur’an menggunakan kata Al- Yahûd, maka kesan yang dapat ditangkap adalah kecaman atau gambaran negatif tentang mereka.  Hal ini berbeda apabila redaksi yang digunakan adalah alladzî Hâdû, maka kesan yang dapat ditangkap adalah di samping kecaman dan sifat negatif ada juga yang netral seperti dalam QS. al-Baqarah [2]: 62. Hal ini sama dengan kata an- Nashârâ bahkan kata yang terakhir ini ada yang terkesan positif dan pujian misalnya dalam QS. al-Mâ’idah [5]: 82.

                Cukup banyak ayat yang berisi kecaman terhadap dua kelompok ini, meskipun dengan penekanandanaspek yang dikecam berbeda.  Di antaranya adalah dalam hal sikap keberagamaan mereka QS. an-Nisâ’ [4]: 171 meluiskan hal ini:




Wahai ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.”

                Sikap melampaui batas yang dimaksud dalam ayat tersebut antara orang Yahudi dan Nasrani, menurut para mufsir, ada jperbedaan.  Kecaman al-Qur’an terhadap orang Nasrani terutama ditujukan dalam aspek akidah seperti yang ditunjukkan dalam lanjutan ayat 1714 surah an-Nisâ juga dalam QS. al-Mâ’idah [5]: 72-73.  Sedangkan kaum Yahudi secara umum mereka tidak banyak melakukan penyimpangan dalam akidah sehingga mereka dikecam dalam konteks sikap mereka yang arogan, jahat, dan sangat memusuhi umat Islam seperti yang terekam dalam QS. al-Mâ’ idah [5]: 82.

                Penjelasan QS. at-Taubah [9]: 30 yang menyatakan bahwa kaum Yahudi meyakini ‘Uzair sebagai anak Allah oleh sebagian besar mufasir tidak dianggap sama dengan pandangan kaum Nasrani yang menganggap Isa sebagai anak Allah.  Imam Ibn Jarir ath-Thabari, misalnya, menyatakan bahwa keyakinan terebut hanya dibantu oleh Yahudi Arab bukan merupakan keyakinan umum orang-orang Yahudi.7[3]Pandangan ini diperkuat oleh Husayn ath-Thabataba’i yang menyatakan bahwa pengertian “anak Allah” dalam ayat tersebut bukanlah dalam arti yang sebenarnya seperti halnya kaum Nasrani yang menyatakan ‘Isa anak Allah.  Ungkapan tersebut hanyalah kiasan sebagai penghormatan kepada ‘Uzair yang berjasa besar dalam mengodifikasi dan mengedit kembali Kitab Taurat setelah hancur karena penyerbuan Raja Babilonia ke Yerussalem.  Ungkapan tersebut sama dengan yang terdapat dalam QS. al- Mâ’idah [5]: 13 di mana orang-orang Yahudi dan Nasrani menyatakan “kami adalah anak-anak Allah”.  Maksudnya, mereka mengklaim bahwa mereka adalah orang-orang yang amat dekat dengan Allah, sebuah klaim yang tidak benar.8[4]

                Demikian juga dalam QS. Âli ‘Imrân [3]: 118 yang mengingatkan kaum Muslim untuk bersikap hati-hati terhadap orang-orang Yahudi dan Nasrani ini:





“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu.  Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu.  Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi.  Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” (QS. Âli ‘Imrân [3]: 118)

                Ayat ini berada dalam kelompok ayat yang berbicara tentang ahl al- kitâb.  Orang yang di luar kalanganmu maksudnya adalah mereka.  Terhadap kelompok ahl al- kitâb seperti yang tergambar dalam ayat inilah tertuju perintah Nabi saw. seperti yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang bersumber dari sahabat Abu Hurairah:




Jangan memulai mengucapkan salam kepada orang Yahudi dan jangan pula kepada Nasrani.  Kalau kalian menemukan salah seorang di antara mereka di jalan maka desaklah ia ke pinggiran.”

                Banyaknya ayat yang mengecam orang-orang Yahudi dan Nasrani dalam al-Qur’an termasuk dalam Hadits apakah ini dapat berarti dapat disimpulkan bahwa keduanya adalah sama dalam arti selalu berusaha memusuhi umat Islam bahkan selalu berkonspirasi, sehingga umat Islam harus juga selalu memusuhinya?

                Penelusuran terhadap ayat-ayat al-Qur’an sampai kepada kesimpulan bahwa sikap mereka terhadap kaum Muslim tidaklah sama.  Karena tidak sama, sungguh keliru kalau kaum Muslim memperlakukan mereka dengan sikap yang sama, yaitu juga memusuhi. Isyarat ini dapat ditemukan dalam beberapa ayat.  Paling tidak, ada tiga ayat yang dapat mendukung kesimpulan tersebut, yaitu QS. al-Mâ’diah/5: 59:





Katakanlah: “Hai ahli Kitab, apakah kamu memandang Kami salah, hanya lantaran Kami beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan kepada Kami dan kepada apa yang diturunkan sebelumnya, sedang kebanyakan di antara kalian benar-benar orang-orang yang fasik?”

                Ungkapan yang menjadi indikasi adalah “kebanyakan di antara kalian (ahl al-kitâb) adalah orang-orang fasik”, Secara kebahasaan, ungkapan banyak dalam ayat terebut berarti tidak semua ahl al-kitâb bersikap memusuhi kaum Muslim.9[5]Hal ini menjadi lebih jelas apabila dilihat ayat lainya di antaranya QS. al-Baqarah [2]: 109:
“Banyak diantara ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS. Al-baqarah [2]: 109)
            Ayat tersebut diawali dengan kata “banyak” yang berarti bukan semuanya, bukan juga kebanyakan atau sebagian besar. Sebagai contoh, apabila ada sepuluh lembar kertas, tiga diantaranya berwarna merah dan sisanya tujuh berwarna putih, maka yang tiga tersebut dapat dikatakan “banyak”bukan kebanyakan. Maka, akan keliru kalau tiga dikatakan kebanyakan, karena lebih dari dua saja sudah dapat disebut “kebanyakan”. [1]
            Dari sinilah dapat dimengerti penegasan ayat al-Quran dalam surah Ali Imran [3]: 113:
                                               
“Mereka itu tidak sama; di antara ahli kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang).”
            Para Mufasir berbeda pandangan menyangkut ayat ini. Kelompok pertama, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ummah qa’imah (kelompok yang lurus) dalam ayat tersebut adalah segolongan dari ahli Kitab yang telah masuk Islam. Di antara mereka adalah Abdullah bin Salam, Tsa’labah bin Sa’id, Usaid bin Ubaid, dan lain-lain. Pandangan ini bersumber dari sahabat Ibn Abbas yang kemudian dikutip oleh para mufasir di antaranya Ibn Jarir Ath-Thabari, Abn Kasir, dan dari kalangan kontemporer seperti al-Maraghi. Asy-Sya’rawi menguatkan pandangan ini dengan menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang Yahudi yang telah masuk Islam didasarkan lanjutan ayat yang menyatakan “mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka bersujud yaitu shalat, sementara orang Yahudi tidak mengenal shalat malam.”[2]
            Kelompk kedua memahami bahwa ayat tersebut berbicara tentang kelompok ahli Kitab baik Yahudi maupun Nasrani yang tidak atau belum memeluk Islam, karena kata sujud tidak harus dipahami shalat tetapi dapat juga diartikan tunduk dan patuh. Mereka adalah orang-orang yang jujur, melaksanakan tuntutan agama mereka dengan benar, mengamalkan nilai-nilai universal yang diakui oleh seluruh manusia. Mereka tidak menganiaya dan tidak berbohong, tidak mencuri atau berzina, tidak berjudi atau mabuk-mabukan membantu dan menolong tanpa pamrih. Mereka termasuk orang yang shaleh dalam kehidupan dunia ini karena memelihara nila-nilai luhur.[3] Redaksi yang hampir sama dituturkan oleh Sayyid Quthb tanpan member penegasan apakah mereka sudah memeluk Islam atau belum yang menyatakan bahwa ayat ini berisi gambaran cemerlang tentang orang-orang beriman di kalangan ahli kitab, mereka telah beriman dengan keimanan yang jujur, mendalam sempurna dan utuh. Mereka telah bergabung dengan barisan Muslim dan telah berpartisipasi menjaga agama ini…[4]
     Terlepas dari apakah mereka sudah masuk Islam atau belum atau bahkan seandainya tidak masuk Islam yang jelas ayat tersebut menyatakan bahkan di antara kelompok ahli kitab itu tidak semua bersikap sama yaitu berkonspirasi untuk memusuhi umat Islam. Kelompok tersebut menurut lanjutan penjelasan ayat digambarkan sebagai orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, memerintahkan yang makruf dan mencegah perbuatan mungkar serta bersegera mengerjakan kebaikan dan mereka termasuk orang-orang yang saleh.
Bahwa sikap di antara mereka berbeda juga dijelaskan dalam . QS. Ali 'Imran [3]: 75:


“Di antara ahli kitab ada orang yang jika kamu memercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu memercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu kecualijika kamu selalu menagihnya. Yang demikian itu lantaran mereka mengatakan; “Tidak ada dosa bagi Kami terhadap orang-orang ummi. Mereka berkata dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui.”
Komentar yang menarik diberikan oleh Sayyid Quthb tentang ayat tersebut dengan menyatakan bahwa di sinilah terlihat objektivitas dan keadilan al-Qur'an dalam menjelaskan kondisi Ahli Kitab yang dahulu dihadapi oleh kaum Muslim, dan boleh jadi juga dihadapi oleh kaum Muslim dewasa ini. Permusuhan Ahli Kitab terhadap Islam dan kaum Muslim, tipu daya mereka yang keji terhadap umat Muhammad saw. serta niat buruk mereka terhadap jamaah Muslim dan agama Islam; semua itu tidak memengaruhi al-Qur'an untuk mengungkapkan kebaikan sebagian mereka sekalipun sedang memaparkan perdebatan dan konfrontasi. Al-Qur'an menegaskan bahwa di antara Ahli Kitab ada orang-orang yang dapat dipercaya dan tidak mau memakan hak orang lain, walaupun banyak dan menggiurkan.[5]
Sebab turun ayat tersebut seperti yang dinukil oleh Ibn Jarir Ath-Thabari adalah sebagian orang Arab menjual barang dagangannya kepada Yahudi pada masa jahiliah. Setelah mereka masuk Islam, segera meminta harga atau menagih kepada mereka. Orang-orang Yahudi tersebut menjawab, “Kami tidak bertanggung jawab dan kamu tidak berhak menuntut kami ke pengadilan karena kamu telah meninggalkan agamamu”. Alasan mereka melakukan demikian karena adanya ketentuan tersebut dalam kitab Taurat. Klaim mereka inilah yang kemudian disanggah oleh ayat “... mereka mengatakan hal yang dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui”.[6]
Yang tidak kalah menariknya adalah alasan mereka berbuat curang terhadap sslain kelompok mereka karena adanya anggapan bahwa tidak ada dosa bagi mereka, khususnya terhadap orang-orang Islam, kaum musyrik di Mekkah, atau orang-orang yang tidak berpengetahuan (ummi). Anggapan merekaini mirip dengan anggapan sementara orang Islam yang berpendapat bahwa menipu atau bahkan merampas hak milik orang non-Muslim atau kafir dapat dibenarkan oleh ajaran agama. Kalau ada yang bersikap demikian tentu hal tersebut amat keliru dan amat dikecam oleh Allah swt. melalui firman-Nya dalam ayat ini. Sikap orang Muslim yang beranggapan demikian berarti tidak ada bedanya dengan kelompok ahli Kitab yang suka menipu dan berbuat curang Pardangan sekelomDok ahli Kitab yang menganggap kelompok lain boleh dicurangi kemungkinan disebabkan oleh salah satunya sikap sombong dan rasa superioritas yang sering mereka klaim sebagai bangsa pilihan Tuhan, sehingga kelompok lain dalam pandangan mereka dapat diperlakukan sekehendak mereka.
Terlepas dari masalah tersebut, yang jelas al-Qur'an juga memaparkan perbedaan antara sikap orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani terhadap kaum Muslim, sebagaimana yang dipaparkan dalam; QS. al-Ma'idah [5]: 82:

“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusvhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang
Yahudi dan orpng-orang rnusyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatann /a dengan orang-orang yang berim in ialah orang-orang yang berkat 1: “Sesungguhnya Kami ini orang Nasrani”. Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orangNasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri. “


10 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, h. 280
[2] Asy-Sya’rawi, Tafsir asy-Sya’rawi, jilid I, h. 104
[3] M. Quraish Shihab, Fi Zhilal al-Quran, Jilid 2, 264
[4] Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Quran, Jilid II, h. 264
[5] Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur'an, jilid II, h. 246.

[6] Ibn Jarir Ath-Thabari, Jami' al-Bayan, Jilid III, h. 315.



5 Fakhruddin Al-Razi, Tafsir al-Kabir, juz, III, h. 35.
6 Thahir bin ‘Asyur, At-Tahrir wa at-Tanwir, juz I, h. 213.
7 Ibn Jarir ath-Thabari, Jami’al-Bayan ‘an Ta’wil Al-Qur’an, jilid X, h. 110.
[4] Husain ath-Tabataba’i, al-Mîzân, Jilid IX, h. 25. Dan Jilid V, h. 268
9 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996, h. 354.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar