Mari kita mulai
dari mufasir periode klasik yang dalma hal ini diwakili oleh Ibn Katsir dan
Fakhruddin ar-Razi. Nama yang terakhir
ini memerikan komentar tentang ayat tersebut dengan menyatakan:
“kondisi mereka dalam berpegang kepada kebatilan secara
kokoh, dan ketegaran mereka dalam kekufuran, bahwa mereka itu juga berkeinginan
agar millah mereka diikuti. Mereka tidak rela dengan Kitab (al-Qur’an
yang dibawa Rasulullah saw.), bahkan mereka berkeinginan mendapat persetujuan
Rasul saw menyangkut keadaan mereka”.
Pernyataan ar-Razi ini kemudian ditutup dengan kesimpulan terhadap ayat
tersebut yaitu “Demikianlah (Allah swt) menjelaskan kerasnya permusuhan mereka
terhadap Rasul saw, serta menerangkan situasi yang mengakibatkan keputusasaan
tentang kemungkinan mereka untuk masuk Islam.”5[1]
Dari kelompok kontemporer mufasir kenamaan dari Tunisia
Thahir bin’Asyur akan kita kutip di sini.
Ketika menjelaskan kalimat hattâ
tattabi’ millatahum (sampai engkau mengikuti millah mereka), ia memberi penjelasan yang agak mirip dengan
ar-Razi di atas dengan menyatakan bahwa ungkapan terebut adalah kinâyah (kalimat yang mengandung makna
tidak sesuai dengan bunyi teksnya) tentang keputusasaan orang-orang Yahudi dan
Nasrani untuk masuk Islam ketika itu, karena mereka tidak rela kepada Rasul
saw. kecuali kalu ia mengikuti millah/
tata cara mereka. Ini berarti bahwa
mereka tidak mungkin akan masuk agama Islam; karena kemungkinan Nabi saw. ikut
agama mereka adalah sesuatu yang mustahil maka kerelaan mereka terhadap agama
Rasul saw juga sesuatu yang mustahil.6[2]
Pandangan Al-Qur’an
tentang Orang Yahudi dan Nasrani
Al-Qur’an menyebut
kelompok orang Yahudi dan Nasrani dengan beberapa ungkapan. Dan, setiap ungkapan memiliki penekanan makna
tersendiri. Apabila langsung
digeneralisir tentu tidak tepat.
Beberapa istilah tersebut antara lain:
● Ahl al-kitâb yang terulang sebanyak 31
kali;
● Âtul kîtab terulang sebanyak 21 kali;
● Aladzî âtainâ humul kitâb 13 kali;
● Âtû nashîban minal kitâb terulang 13 kali;
● Al- Yahûd terulang sebanyak 8 kali;
● alladzî Hâdû frekuensinya
sebanyak 10 kali;
● an- Nashârâ terulang sebanyak 14 kali;
dan
● Bani/Banû Isrâ’il sebanyak 41 kali.
Ayat di atas menggunakan kata Al- Yahûd dan an- Nashârâ
untuk menunjuk dua komunitas non-Muslim terebut. Apabila Al-Qur’an menggunakan kata Al- Yahûd, maka kesan yang dapat ditangkap adalah kecaman atau
gambaran negatif tentang mereka. Hal ini
berbeda apabila redaksi yang digunakan adalah alladzî Hâdû, maka kesan yang
dapat ditangkap adalah di samping kecaman dan sifat negatif ada juga yang
netral seperti dalam QS. al-Baqarah [2]: 62. Hal ini sama dengan kata an- Nashârâ bahkan kata yang terakhir
ini ada yang terkesan positif dan pujian misalnya dalam QS. al-Mâ’idah [5]: 82.
Cukup banyak ayat yang berisi
kecaman terhadap dua kelompok ini, meskipun dengan penekanandanaspek yang
dikecam berbeda. Di antaranya adalah
dalam hal sikap keberagamaan mereka QS. an-Nisâ’ [4]: 171 meluiskan hal ini:
“Wahai ahli Kitab, janganlah kamu melampaui
batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang
benar.”
Sikap melampaui batas yang
dimaksud dalam ayat tersebut antara orang Yahudi dan Nasrani, menurut para
mufsir, ada jperbedaan. Kecaman
al-Qur’an terhadap orang Nasrani terutama ditujukan dalam aspek akidah seperti
yang ditunjukkan dalam lanjutan ayat 1714 surah an-Nisâ juga dalam QS.
al-Mâ’idah [5]: 72-73. Sedangkan kaum
Yahudi secara umum mereka tidak banyak melakukan penyimpangan dalam akidah
sehingga mereka dikecam dalam konteks sikap mereka yang arogan, jahat, dan
sangat memusuhi umat Islam seperti yang terekam dalam QS. al-Mâ’ idah [5]: 82.
Penjelasan QS. at-Taubah [9]: 30
yang menyatakan bahwa kaum Yahudi meyakini ‘Uzair sebagai anak Allah oleh
sebagian besar mufasir tidak dianggap sama dengan pandangan kaum Nasrani yang
menganggap Isa sebagai anak Allah. Imam Ibn
Jarir ath-Thabari, misalnya, menyatakan bahwa keyakinan terebut hanya dibantu
oleh Yahudi Arab bukan merupakan keyakinan umum orang-orang Yahudi.7[3]Pandangan
ini diperkuat oleh Husayn ath-Thabataba’i yang menyatakan bahwa pengertian
“anak Allah” dalam ayat tersebut bukanlah dalam arti yang sebenarnya seperti
halnya kaum Nasrani yang menyatakan ‘Isa anak Allah. Ungkapan tersebut hanyalah kiasan sebagai
penghormatan kepada ‘Uzair yang berjasa besar dalam mengodifikasi dan mengedit
kembali Kitab Taurat setelah hancur karena penyerbuan Raja Babilonia ke
Yerussalem. Ungkapan tersebut sama
dengan yang terdapat dalam QS. al- Mâ’idah [5]: 13 di mana orang-orang Yahudi
dan Nasrani menyatakan “kami adalah anak-anak Allah”. Maksudnya, mereka mengklaim bahwa mereka
adalah orang-orang yang amat dekat dengan Allah, sebuah klaim yang tidak benar.8[4]
Demikian juga dalam QS. Âli ‘Imrân
[3]: 118 yang mengingatkan kaum Muslim untuk bersikap hati-hati terhadap
orang-orang Yahudi dan Nasrani ini:
“Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang,
di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan)
kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa
yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian
dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih
besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan
kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” (QS. Âli ‘Imrân [3]: 118)
Ayat ini berada dalam kelompok
ayat yang berbicara tentang ahl al- kitâb. Orang yang di luar kalanganmu maksudnya
adalah mereka. Terhadap kelompok ahl al- kitâb seperti yang tergambar
dalam ayat inilah tertuju perintah Nabi saw. seperti yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim yang bersumber dari sahabat Abu Hurairah:
“Jangan memulai mengucapkan salam kepada orang
Yahudi dan jangan pula kepada Nasrani.
Kalau kalian menemukan salah seorang di antara mereka di jalan maka
desaklah ia ke pinggiran.”
Banyaknya ayat yang mengecam
orang-orang Yahudi dan Nasrani dalam al-Qur’an termasuk dalam Hadits apakah ini
dapat berarti dapat disimpulkan bahwa keduanya adalah sama dalam arti selalu
berusaha memusuhi umat Islam bahkan selalu berkonspirasi, sehingga umat Islam
harus juga selalu memusuhinya?
Penelusuran terhadap ayat-ayat
al-Qur’an sampai kepada kesimpulan bahwa sikap mereka terhadap kaum Muslim
tidaklah sama. Karena tidak sama,
sungguh keliru kalau kaum Muslim memperlakukan mereka dengan sikap yang sama,
yaitu juga memusuhi. Isyarat ini dapat ditemukan dalam beberapa ayat. Paling tidak, ada tiga ayat yang dapat
mendukung kesimpulan tersebut, yaitu QS. al-Mâ’diah/5: 59:
“Katakanlah: “Hai ahli Kitab, apakah kamu
memandang Kami salah, hanya lantaran Kami beriman kepada Allah, kepada apa yang
diturunkan kepada Kami dan kepada apa yang diturunkan sebelumnya, sedang
kebanyakan di antara kalian benar-benar orang-orang yang fasik?”
Ungkapan yang menjadi indikasi
adalah “kebanyakan di antara kalian (ahl
al-kitâb) adalah orang-orang fasik”, Secara kebahasaan, ungkapan banyak
dalam ayat terebut berarti tidak semua ahl
al-kitâb bersikap memusuhi kaum Muslim.9[5]Hal
ini menjadi lebih jelas apabila dilihat ayat lainya di antaranya QS. al-Baqarah
[2]: 109:
“Banyak diantara ahli kitab
menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu
beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata
bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah
mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS. Al-baqarah [2]: 109)
Ayat
tersebut diawali dengan kata “banyak” yang berarti bukan semuanya, bukan juga
kebanyakan atau sebagian besar. Sebagai contoh, apabila ada sepuluh lembar
kertas, tiga diantaranya berwarna merah dan sisanya tujuh berwarna putih, maka
yang tiga tersebut dapat dikatakan “banyak”bukan kebanyakan. Maka, akan keliru
kalau tiga dikatakan kebanyakan, karena lebih dari dua saja sudah dapat disebut
“kebanyakan”. [1]
Dari
sinilah dapat dimengerti penegasan ayat al-Quran dalam surah Ali Imran [3]:
113:
“Mereka itu tidak sama; di antara
ahli kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah
pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang).”
Para
Mufasir berbeda pandangan menyangkut ayat ini. Kelompok pertama, menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan ummah qa’imah (kelompok yang lurus) dalam
ayat tersebut adalah segolongan dari ahli Kitab yang telah masuk Islam. Di
antara mereka adalah Abdullah bin Salam, Tsa’labah bin Sa’id, Usaid bin Ubaid,
dan lain-lain. Pandangan ini bersumber dari sahabat Ibn Abbas yang kemudian
dikutip oleh para mufasir di antaranya Ibn Jarir Ath-Thabari, Abn Kasir, dan
dari kalangan kontemporer seperti al-Maraghi. Asy-Sya’rawi menguatkan pandangan
ini dengan menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang Yahudi yang telah masuk
Islam didasarkan lanjutan ayat yang menyatakan “mereka membaca ayat-ayat Allah
pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka bersujud yaitu shalat,
sementara orang Yahudi tidak mengenal shalat malam.”[2]
Kelompk
kedua memahami bahwa ayat tersebut berbicara tentang kelompok ahli Kitab baik
Yahudi maupun Nasrani yang tidak atau belum memeluk Islam, karena kata sujud
tidak harus dipahami shalat tetapi dapat juga diartikan tunduk dan patuh.
Mereka adalah orang-orang yang jujur, melaksanakan tuntutan agama mereka dengan
benar, mengamalkan nilai-nilai universal yang diakui oleh seluruh manusia.
Mereka tidak menganiaya dan tidak berbohong, tidak mencuri atau berzina, tidak
berjudi atau mabuk-mabukan membantu dan menolong tanpa pamrih. Mereka termasuk
orang yang shaleh dalam kehidupan dunia ini karena memelihara nila-nilai luhur.[3]
Redaksi yang hampir sama dituturkan oleh Sayyid Quthb tanpan member penegasan
apakah mereka sudah memeluk Islam atau belum yang menyatakan bahwa ayat ini
berisi gambaran cemerlang tentang orang-orang beriman di kalangan ahli kitab,
mereka telah beriman dengan keimanan yang jujur, mendalam sempurna dan utuh.
Mereka telah bergabung dengan barisan Muslim dan telah berpartisipasi menjaga
agama ini…[4]
Terlepas dari apakah mereka
sudah masuk Islam atau belum atau bahkan seandainya tidak masuk Islam yang
jelas ayat tersebut menyatakan bahkan di antara kelompok ahli kitab itu tidak
semua bersikap sama yaitu berkonspirasi untuk memusuhi umat Islam. Kelompok
tersebut menurut lanjutan penjelasan ayat digambarkan sebagai orang-orang yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, memerintahkan yang makruf dan mencegah
perbuatan mungkar serta bersegera mengerjakan kebaikan dan mereka termasuk
orang-orang yang saleh.
Bahwa sikap di antara mereka
berbeda juga dijelaskan dalam . QS. Ali 'Imran [3]: 75:
“Di antara ahli kitab ada orang yang jika kamu memercayakan kepadanya harta
yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika
kamu memercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu
kecualijika kamu selalu menagihnya. Yang demikian itu lantaran mereka
mengatakan; “Tidak ada dosa bagi Kami terhadap orang-orang ummi. Mereka berkata
dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui.”
Komentar yang menarik
diberikan oleh Sayyid Quthb tentang ayat tersebut dengan menyatakan bahwa di
sinilah terlihat objektivitas dan keadilan al-Qur'an dalam menjelaskan kondisi
Ahli Kitab yang dahulu dihadapi oleh kaum Muslim, dan boleh jadi juga dihadapi
oleh kaum Muslim dewasa ini. Permusuhan Ahli Kitab terhadap Islam dan kaum
Muslim, tipu daya mereka yang keji terhadap umat Muhammad saw. serta niat buruk
mereka terhadap jamaah Muslim dan agama Islam; semua itu tidak memengaruhi al-Qur'an untuk mengungkapkan
kebaikan sebagian mereka sekalipun sedang memaparkan perdebatan dan konfrontasi. Al-Qur'an menegaskan bahwa di antara
Ahli Kitab ada orang-orang yang dapat dipercaya dan tidak mau memakan hak orang lain,
walaupun banyak
dan
menggiurkan.[5]
Sebab turun ayat tersebut seperti yang dinukil oleh
Ibn Jarir Ath-Thabari adalah sebagian orang Arab menjual barang dagangannya
kepada Yahudi pada masa jahiliah. Setelah mereka masuk Islam, segera meminta
harga atau menagih kepada mereka. Orang-orang Yahudi tersebut menjawab, “Kami
tidak bertanggung jawab dan kamu tidak berhak menuntut kami ke pengadilan
karena kamu telah meninggalkan agamamu”. Alasan mereka melakukan demikian karena
adanya ketentuan tersebut dalam kitab Taurat. Klaim mereka inilah yang kemudian
disanggah oleh ayat “... mereka mengatakan hal yang dusta terhadap Allah, padahal mereka
mengetahui”.[6]
Yang tidak kalah menariknya adalah alasan mereka berbuat curang
terhadap sslain kelompok mereka karena adanya anggapan bahwa tidak ada dosa
bagi mereka, khususnya terhadap orang-orang Islam, kaum musyrik di Mekkah, atau orang-orang yang
tidak berpengetahuan (ummi). Anggapan merekaini mirip dengan anggapan sementara
orang Islam yang berpendapat bahwa menipu atau bahkan merampas hak milik orang
non-Muslim atau kafir dapat dibenarkan oleh ajaran agama. Kalau ada yang
bersikap demikian tentu hal tersebut amat keliru dan amat dikecam oleh Allah swt. melalui firman-Nya
dalam ayat ini. Sikap orang Muslim yang beranggapan demikian berarti tidak ada
bedanya dengan kelompok ahli Kitab yang suka menipu dan berbuat curang
Pardangan sekelomDok
ahli Kitab
yang menganggap kelompok lain boleh dicurangi kemungkinan disebabkan oleh salah satunya sikap sombong dan rasa superioritas
yang sering mereka klaim sebagai bangsa pilihan Tuhan, sehingga kelompok lain
dalam pandangan mereka dapat diperlakukan sekehendak mereka.
Terlepas dari masalah tersebut, yang jelas
al-Qur'an juga memaparkan perbedaan antara sikap orang-orang Yahudi dan
orang-orang Nasrani terhadap kaum Muslim, sebagaimana yang dipaparkan dalam;
QS. al-Ma'idah [5]: 82:
“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling
keras permusvhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang
Yahudi dan orpng-orang rnusyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati
yang paling dekat persahabatann /a dengan orang-orang yang
berim in ialah orang-orang yang berkat 1: “Sesungguhnya Kami ini
orang Nasrani”. Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu
(orang-orangNasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena
sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri. “
[2] Asy-Sya’rawi,
Tafsir asy-Sya’rawi, jilid I, h. 104
[3] M. Quraish Shihab, Fi
Zhilal al-Quran, Jilid 2, 264
[4] Sayyid Quthb, Fi
Zhilal al-Quran, Jilid II, h. 264
[5]
Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur'an, jilid II, h. 246.
[6] Ibn Jarir Ath-Thabari, Jami' al-Bayan, Jilid III, h. 315.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar