Rabu, 03 April 2013

Bohong dalam Situasi Perang



Sudah menjadi kesepakatan umum bahwa perang,apapun bentuknya, memerlukan suatu strategi untuk memenangkannya. Namun,perang yang dimaksud di sini adalah perang di jalan Allah, bukan perang para preman yang mempertahankan wilayah kekuasaan, atau perang yang lain semisal perang harga para produsen untuk saling menjatuhkan, dan sebagainya. Karena, perang model itu terlarang dalam agama, apalagi berbohong dalam hal yang memang sudah terlarang. Oleh karena itu kebohongan yang di bolehkan adalah strategi dalam rangka memenagkan perang di jalan Allah melawan orang kafir yang memusuhi Islam.
            Melakukan strategi, berbohong, atau tipu daya, dalam suasana perang dalam rangka memenangkan peperangan tampaknya memang diperlukan. Sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari menjelaskan tentang peperangan itu sebagai tipu daya.
“Dinukil dari Amr,ia mendengar Jabir ibn Abdillah ra berkata bahwa Nabi saw pernah bersabda : ‘perang itu adalah tipu daya’.”[1]
            Sebuah peperangan tanpa strategi tentu dengan mudah digunakan oleh lawan untuk menghancurkan, namun tidak serta-merta berarti harus dilakukan dengan segala cara yang tak beretika. Etika perang sesuai dengan kesepakatan-kesepakatan umum atau konvensi-konvensi tentang hal itu tetap harus dikedepankan. Sebagian besar ulama sepakat atas tipu daya terhadap orang kafir yang menjadi musuh dalam peperangan. Meskipun ada sebagian lain, seperti ath-Thabari, tetap tidak membolehkan tipu daya atau kebohongan dalam situasi apapun, kecuali yang sifatnya kiasan atau sindiran halus atau bahasa-bahasa yang mengambang untuk tidak mengatakan sesuatu perihal perang secara jelas (vulgar,eksplisit). Lebih jelasnya, Abu al-‘Ala mengutip perkataan ath-Thabari sebagai berikut:
“Kebohongan yang dibolehkan dalam perang hanyalah yang bersifat kiasan(bahasa ambang). Bukan kebohongan dalam arti sebenarnya,karena hal itu selamanya tidak dibolehkan.”[2]
            Perlu ditegaskan bahwa kebolehan untuk berdusta (baca:mengembangkan strategi yang dirahasiakan ) ataupun mengungkapkan dengan bahasa-bahsa yang mengambang hanya berlaku pada saat perang,upaya islah, dan sanjungan kepada pasangan suami istri sebagaimana telah dijelaskan di atas. Artinya, di luar suasana itu kebohongan merupakan suatu perbuatan dosa. Hal ini penting untuk dikemukakan, karena ada sebagian masyarakat kita yang membolehkan untuk menipu, membohongi, atau mencurangi orang lain yang tidak seiman dengannya dengan menyandarkan pada hadits yang disebutkan di atas. Padahal, dalam hadis tersebut sangat jelas disebut kata al-harb (dalam situasi perang). Di luar itu, Kebohongan, tipu daya dan sejenisnya tidak layak dilakukan  sebagai penganut agama yang senantiasa mempresentasikan kedamaian. Orang Muslim adalah orang yang senantiasa lingkungannya merasa damai atas kehadirannya karena ucapan ataupun perbuatannya.





                                          



[1] Riwayat Bukhari. Lihat Shahih al-Bukhari,juz 10, h.229;lihat juga Shahih Muslim, juz IX, h. 166 (dari riwayat Abu Hurairah).
[2] Lihat Abu al-‘Ala Muhammad ibn Abdirrahman.Tuhfah al-ahwadz Jami at-Turmudzi, Muhaqqiq: Abd Al-Wahhab ibn Abd Al-Lathif, (Ma Maktabah al-Salafiyah),Juz V,h.320

Tidak ada komentar:

Posting Komentar