Rabu, 27 Maret 2013

Labelisasi Negara-kafir



Persoalannya kemudian adalah bahwa kelompok-kelompok radikal yang muncul di Dunia Islam ini tampaknya cenderung simplistic dalam memahami ayat 44 surah al-ma’idah ini. Mereka kerap melabelkan para penguasa di Negara-negara  mayoritas Muslim yang,dalam pangdangan mereka, tidak menerapkan hukum Allah, sebagai kafir, sehingga berhak “diperangi”. Adalah suatu hal yang sangat disayangkan bila dalam pandangan simplistic kelompok radikalis ini hamper seluruh Negara Arab-Islam dewasa terkena lebel sebagai Negara kafir.
     Dalam analisis M. S Ramadhan al-Buthi, ulama terkemuka asal Suriah, pandangan simplistik ini sesungguhnya mengandung dua kesalahan fatal dalam pandangan semua aliran pemikiran Islam, kecuali Khawarij. Pertama, pandangan simplistik itu akan mengakibatkan terjadinya pengafiran missal tanpa melihat individu-individu muslim secara perorangan; dan Kedua, munculnya asumsi bahwa setiap pelanggaran hukum Allah sebagai kafir,tanpa melihat lebih jauh motivasi dan alasan-alasan yang melatarbelakangi terjadinya pelanggaran itu.
     Sebab,boleh jadi seorang Muslim tidak melaksanakan syariah Islam bukan karena pengingkaran dan pelecehan atas hukum Allah, melainkan kerena alas an kemalasan, dorongan hawa nafsu,interes-interes keduniaan, atau alas an lain yang bukan yang bukan pengingkaran dan pelecehan. Secara demikian, sebelum vonis kafir dijatuhkan,seseorang harus memverifikasi alas an orang per orang mengapa mereka tidak melaksanakan Hukum Islam. Bila alasan-alasan dibalik itu belum ditemukan, maka keIslaman seseorang tidak boleh diganggu gugat berdasarka kaidah “Suatu prinsip adalah tetapnya sesuatu sebagaimana” (al-ashlu baqa’u ma kana’ala ma kana).   
     Yang perlu ditegaskan kembali adalah bahwa, sesuai dengan pendapat seluruh aliran kalam dan fiqih Islam-kesuali aliran khawarij yang radikal dan menyimpang-pengafiran (takfir) adalah persoalan akidah. Bila perkataan dan perbuatan seseorang Muslim telah secara jelas dan menyakinkan bertentengan dengan prinsip-prinsip akidah Islam, diantaranya melecehkan dan mengingkari hukum-hukum Allah, maka ia dapat disebut sebagai telah keluar dari Islam (kafir). Namun, bila tidak terdapat bukti yang jelas dan menyakinkan bahwa ia telah menghina dan melecehkan hukum Allah karena adanya kemungkinan-kemungkinan atau alas an lain, maka pelanggaran yang dilakukan tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan kafir, paling jauh sebagai pendosa yang fasik. Adapun hakikat yang ada di dalam hatinya, kita serahkan kepada Allah yang Mahatau,nahkumu bi al-zhawahir wa-llah yatawalla al-sara’ir.
Sampai titik ini, ada baiknya kita mengutip perkataan Imam Ahmad, seorang ulama yang dikenal dangat tegas dalam menjalankan hukum-hukum Allah, untuk mendukung kesepakatan seluruh aliran kalam dan fiqih Islam-terkecuali khawarij-tentang persoalan takfir sebagaimana dijelaskan di atas. Sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Qudamah, Iman Ahmad pernah berkata:
Barang siapa yang mengatakan khamar adalah halal,maka ia telah kafir yang diminta untuk bertobat. Bila bertobat, maka ia kembali menjadi muslim; bila tidak, ia boleh dibunuh. Tetapi pengafiran ini harus dibatasi bagi mereka yang sengaja menghalalkan apa yang telah pasti pengaharamannya, atau meminum khamar, mereka tidak bisa divonis fafir (murtad) begitu saja, baik mereka melakukannnya dia Darul Harb atau di Darul Isalm. Sebab, boleh jadi mereka melakukan hal-hal itu dengan tetap menyakini keharamannya. Demikian pula halnya bentuk-bentuk pelanggaran lainnya.”

Selasa, 26 Maret 2013

Pemahaman al-Quran dan al-Hadis: Dulu dan Sekarang



Ulama besar, asy-Syathibi, dalam kitab al-Muwafaqat mencatat empat aliran dalam pemahaman al-Qur’an dan Hadits, yaitu Zhahiriyyah (literal), bathiniyyah, al-Muta’ammiqun fi al-Qiyas (rasionalis dan cenderung liberal), dan al-Rasikhun fi al-‘Ilm (mendalam ilmunya dan moderat).[1]
                                        
  1. Zhaririyyah
Sebuah mazhab fiqih yang berlandaskan pada al-Qur’an, sunnah, dan ijma’, tetapi menolak intervensi akal dalam bentu qiyas, ta’lil, istihsan, dan lain sebagainya. Zhahiriyah, sebutan bagu para penganut mazhab ini, terambil dari nama tokoh panutannya, Daud bin Ali azh-Zhahiri. Muncul pertama kali pada paruh pertama abad ketiga Hijriah.
            Dalam memahami teks keagamaan Zhahiriyah berpegang kepada tiga prinsip dasar:
a.        Keharusan berperang teguh pada lahiriah teks dan tidak melampauinya kecuali dengan teks yang zhahir lainnya atau dengan konsessus (ijmak) yang pasti. Penggunaan akal tidak diperkenankan.
b.        Maksud teks yang sebenarnya terletak pada zhahir, bukan di balik teks yang perlu dicari dengan penalaran mendalam. Demikian pula maslahat yang dikehendaki syara’.
c.         Mencari sebab di balik penetapan syariah adalah sebuah kekeliruan. Ibnu Hazm, salah seorang tokohnya berkata,  “Seseorang tidak boleh mencari sebab dalam agama dan tidak diperkenankan mengatakan ‘ini’ adalah sebab ditetapkannya ‘itu’, kecuali ada nash tentang itu.” (La yus’alu ‘amma yaf’alu wahum yus’alun).
Banyak hasil ijtihad kelompok Zhahiriyah dalam memahami teks yang dinilai keliru oleh para ulama, antara lain karena:
a.        Tidak mau menggunakan akal dalam pengambilan hukum dengan memperluas cakupan zhahir, sehinggal al-Qur’an tidak lagi mampu mengantisipasi berbagai kemaslahatan yang timbul kemudian.
b.        Jumud dan tidak mengikuti perkembangan zaman, sehingga bertentangan dengan fungsi al-Qur’an sebagai kitab abadi di setiap ruang dan waktu. Teks al-Qur’an terbatas, sementara peristiwa dan kejadian yang dialami manusia selalu berkembang.
c.         Tidak sejalan dengan rasionalitas al-Qur’an, karena hanya membatasi pemahaman pada logika bahasa.

2.        Bathiniyyah
Sebuah nomenklatur bagi sekian banyak kelompok yang pernah ada dalam sejarah Islam. Muncul pertama kali pada masa al-Ma’mun (w.218), salah seorang penguasa Abbasiyah, dan berkembang pada masa al-Mu’tashim (w. 227). Sebagian ulama mensinyalir, prinsip-prinsip dasar yang digunakan dalam memahami teks-teks keagamaan bersumber dari kalangan Majusi. Dinamakan Bathiniyyah karena mereka meyakini adanya Imam yang gaib. Mereka mengklaim ada dua sisi dalam syariah; zhahir dan batin. Manusia hanya mengetahui yang zhahir, sedangkan yang batin hanya diketahui oleh Iman.[2]
            Pola yang digunakan dalam memahami teks-teks keagamaan:
a.        Tujuan dan maksud dari sebuah teks (al-Qir’an dan Hadits) bukan pada makna zhahir yang diperoleh melalui kaidah-kaidah kebahasaan dan konteks penyebutan, tetapi terletak pada makna di balik symbol zhahirnya.
b.        Mereka mengultuskan makna batin sebuah teks dan mengingkari zhahir teks, sehingga banyak hokum-hukum syar’I yang diabaikan, bahkan tidak ditaati lagi.
Karena itu, Imam al-Ghazali, seperti dikutip asy-Syathibi, mendudukkan mereka pada
tingkatan yang paling rendah dan hina disbanding kelompok sesat lainnya.[3] Kerusakan yang mereka lakukan, kata ar-razi, jauh lebih parah dari tindakan orang kafir, sebeba mereka menggerus syariah Islam dengan sebutan Islam itu sendiri.[4]
Mengapa mereka dinilai keliru dan sesat?
a.      Tidak memiliki perangkat pemahaman yang benar. Mereka tidak menggunakan kaidah-kaidah kebahasaan dan pokok-pokok ilmu tafsir sebagai sandaran dalam memehami al-Qur’an, padahal al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab dan baru dapat dipahami maknanya jika sesuai dengan prinsip-prinsip kebahasaan Arab.
b.      Mengira ada yang kurang dalam syariah, dan baru sempurna jika dipahami secara batin yang hanya bisa dilakukan oleh Imam yang ma’shum.
c.       Mengedepankan akal daripada syariah yang dianggapnya kurang memadai dan melepaskannya tanpa kendali untuk menyelami lautan makna batin. Patut disadari, keragaman pandangan yang tidak didasari pada kaidah yang jelas akan menimbulkan kekacauan.

  1. Rasionalis (al-Aqlaniyyun), atau al-Muta’ammiqun fi al-Qiyas
Sebagian ulama menisbatkan kecenderungan ini kepada Imam Sulaiman al-Thufi (w. 716 H) yang dikenal dengan teori maslahat yang dipahaminya sebagai “sebab yang dapat mengantarkan kepada tujuan syariah Allah dalam ibadah (al-ibadat) dan muamalah (al-mu’amalat).”
            Pendapatnya yang sangat berbeda dengan jumhur ulama dan mendapat kritikan tajam: “Jika ada maslahat yang bertentangan dengan nash yang terkait dengan mu’amalat (adat), maka maslahat harus dikedepankan daripada nash.”
            Menurut ath-Thufi, hubungan antara maslahat dan nash (dalil syar’i) berkisar pada tiga hal:
-       Dalil syar’I sejalan dengan maslahat, seperti dalam penetapan hudud terhadap pelaku pembunuhan, pencurian, qadzaf, dan selainnya.
-       Jika tidak sejalan tetapi memungkinkan untuk dikompromikan melalui takhshish atau taqyid, maka keduanya dapat digunakan dalam batas-batas tertentu.
-       Jika terjadi benturan antara maslahat dan nash dan tidak bisa dikompromikan, maka maslahat harus dikedepankan dan nash ditinggalkan.[5]
Maslahat harus dikedepankan, karena akal dapat menalar dan membedakan maslahat manusia tanpa perlu bantuan syara’. Maslahat daoat diketahui secara pasti melalui kebiasaan sedangkan nash-nash syar’i tidak dapat menjelaskannya karena mengandung banyak interpretasi dan kemungkinan. Ukurannya adalah hukum muamalat sejalan dengan akal dan kebiasaan serta mewujudkan manfaat, baik ketika sejalan dengan nash maupun bertentangan.
Mengapa mereka keliru?
a.        Akal memiliki keterbatasan untuk menjangkau semua maslahat manusia secara sempurna. Apa yang diduga akan mendatangkan maslahat boleh justru sebaliknya. Pengetahuannya sangat terbatas (QS. al-Isra [17]: 85; QS. an-Nahl [16]: 8 dan lain-lain). Melepaskan akal untuk menalar tanpa kendali sama tercelanya dengan mengekang akal untuk tidak berfikir.
b.        Akal mengikuti syara’ bukan sebaliknya
Dalam sejarah pemikiran Islam klasik terjadi perdebatan apakah akal dapat mengetahui kebaikan dan keburukan (at-tahsin wa at-taqbih al-aqliyyayn).
-       Asy’ariyyah: akal tidak dapat membedakan kebaikan dan keburukan tanpa bantuan syara’. Tolok ukur keduanya pada syara’.
-       Muktazilah: akal dapat mengetahui keduanya, sebab setiap perbuatan dan perkataan memiliki manfaat dan mudharat. Agama memerintahkan dan melarang karena manfaat dan mudharat yang ditetapkan akal.
-       Muturidiyah: akal dapat mengetahui dan keburukan, tetapi hukum agama tidak selalu sejalan dengan pertimbangan akal. Tolok ukurnya adalah perintah dan larangan agama, sebab akal boleh jadi keliru atau berbeda dalam menetapkan keduanya.
Kendati berbeda, mereka sepakat mangatakan, sumber penetapan huku adalah syariah, baik yang tertuang dalam bentuk teks maupun hasil ijtihad.[6]
c.    Kemaslahatan dalam muamalat duniawi ada yang tidak diketahui akal dan hanya dapat diketahui melalui wahyu, karena itu perlu berpegang pada ketentuan syariah untuk mencegah kekacauan dan kebimbangan.
d.   Hak-hak mukallaf (hamba) tidak lepas dari hak Tuhan. Ath-Thufi membedakan antara ibadat yang dianggap hak Tuhan sehingga perlu berpegang pada ketentuan syara', dan muamalat yang merupakan hak hamba sehingga yang menjadi tolok ukur adalah kemaslahatan hamba walaupun bertentangan dengan nash. Asy-Syathibi mengatakan, "Dalam setiap bentuk taklif terdapat hak Allah". Bentuk hukuman kudud jika telah sampai ke tangan hakim, selain qishash, qadzaf, dan mencuri, tidak dapat digugurkan meski telah dimaafkan oleh pihak terkait.
e.    Di dalam syariah tidak ada yang bertentangan dengan akal. Mengedepankan maslahat daripada nash mengesankan ada sekian maslahat yang bertentangan dengan syariah. Ini berlawanan dengan kenyataan bahwa agama (syariah) sejalan dengan akal dan fitrah manusia.
f.       Tidak ada pertentangan antara nash dan maslahat. Kemaslahatan yang hakiki terletak pada cakupan maqdshid syari'ah, sehingga tidak mungkin ada pertentangan antara keduanya.[7]

Bagaimana al-Qur'an dipahami sekarang?

Zhahiriyyah, Bathiniyyah, dan 'Aqldniyyah bukan hanya milik zaman dan waktu tertentu, melainkan selalu ada di setiap zaman dalam bentuk yang berbeda.
I.          Neo-Zhahiriyyah
Mereka mewarisi kejumudan zhahiriyah masa lampau. Di antara cirinya dalam pemahaman teks:
a.        Memahami teks secara literal (harfiyah) dan kaku, tanpa melihat ^iliai atau maqashid di balik teks.
b.        Cenderung keras (tasyaddud), mempersulit dan berlebihan (al-ghuluww).
c.         Menganggap dirinya yang paling benar, dan lainnya salah.
d.        Tidak menolerir perbedaan pendapat atau pandangan.
e.         Berburuk sangka dan bahkan mengafirkan pandangan yang berbeda.
Di antara produk pemikirannya saat ini: uang kertas yang beredar saat ini bukan uang syar'i seperti dalam al-Qur'an dan Sunnah sehingga tidak wajib dizakatkan; Zakat fithrah hanya dapat dilakukan dengan bahan makanan, tidak dapat diganti uang; Televisi dan fotografi haram berdasarkan Hadits yang melaknat mushawwiru).
2.        Neo-Bathiniyyah
Perasaan inferiority complex yang dialami umat Islam melahirkan sikap kagum terhadap prototype peradaban Barat yang maju, sehingga menjadi dasar sebagian kalangan untuk menetapkan hukum-hukum agama walaupun harus berbenturan dengan nash-nash yang tsawdbit, bahkan meruntuhkan sekalipun. Ketentuan-ketentuan yang ada dianggap tidak lagi dapat memenuhi kemaslahatan manusia yang terus berkembang.
Keinginan untuk menyelaraskan nash dengan realitas dilakukan melalui upaya mencari maqdshid syari'ah yang diduga berada di balik simbol-simbol teks tanpa ada ketentuan yang mengaturnya, tentunya dengan ukuran akal manusia modern. Siapa saja dapat melakukannya.
Yusuf al-Qardhawi menamakan kelompok ini dengan "al-Mu'aththilah al-Judud" (Neo-Mu'aththilah). Kalau mu'aththilah klasik bermain pada tataran akidah, neo-mu'aththilah bermain pada tataran  akidah, neo-mu’aththilah bermain pada tataran syariah.
Dengan dalih kemaslahatan (al-mashlahah) manusia modern terjadi upaya meruntuhkan syariah seperti pada hukum keluarga, warisan, kudud, dan lain sebagainya. Teks-teks yang ada harus dipahami sebatas ruang dan konteks pewahyuannya, dengan kata lain disesuaikan dengan sabab nuzul-nya.
Secara umum, kelompok ini bercirikan tidak mendalami sumber, prinsip, dan hukum syariah dengan baik, serta memiliki keberanian mengungkap pendapat meski tidak didukung argumentasi yang kuat.
            Pijakan dalam memahami teks:
1.        Mengedepankan akal daripada wahyu. Akal dapat menentukan mana yang lebih maslahat untuk dilakukan meskipun harus berbenturan dengan nash syar'i.
2.        Dengan dalih maslahat, Umar bin Khaththab telah mengalahkan nash seperti pada kasus al-mu'allafah qulubuhum yang tidak diberi zakat, menafikan hukum potong tangan saat paceklik terjadi dan lainnya.
3.        Ungkapan yang sering disebut berasal dari Ibnu al-Qayyim, "Di mana ada maslahat di situ ada syariah", padahal ungkapan tersebut berlaku pada kasus yang tidak ada nashnya, atau jika ada, mengandung berbagai kemungkinan yang dapat ditentukan melalui mana yang lebih maslahat. Ungkapan yang tepat, "di mana ada syariah di situ ada maslahat".
Teks-teks yang ada harus dipahami sebatas ruang dan konteks pewahyuannya, dengan kata lain disesuaikan dengan sabab nuzul-nya. Al-'Ibrah bi khushush as-sabab, la bi 'umum al-lafzh, demikian ungkapan yang sering digunakan.[8]


[1] Abu Ishaq Ibrahim bin Musa asy-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Mekkah: Tazwi Abbas Ahmad al-Baz, 1975), h. 2/394.
[2] Muhsin Abdul Hamid, Haqiqat al-Babiyah wa al-Baha’iyyah, (Kairo: Dar al-Shahwah, 1985), h. 22.
[3] Muhsin Abdul Hamid, Haqiqat al-Babiyah wa al-Baha’iyyah, h. 22.
[4] Asy-Syathibi, al-I’tisham, (Riyadh: Maktabat al-Riyadh, t.th.), h. 1/331.
[5] Ahmad Abdurrahim as-Saih, Risalah fi Ri’ayat al-Mashlahah li al-Imam ath-Thufi, (Kairo: al-Dar al-Mashriyyah al-Lubnaniyyah, 1993), h. 39-56.
[6] Abdul Wahhab Khallaf, Ilm’Ushul al-Fiqh, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1408 H), h. 98-99.
[7] Abdul Karim al-Hamidi, Dhawabith fi Fahm an-Nash, (Qatar: Kitab al-Ummah, 2005), h. 62-67
[8] Yusuf al-Qardhawi, Dirasah fi Fiqh Maqashid asy-Syari’ah, (Kairo: Dar al-Syuruq, 2006), cet. I, h. 97-116.

Senin, 25 Maret 2013

AMAR MA’RUF NAHI MUNGKAR


 Sejak tiga dekade terakhir di penghujung milenium kedua, tepatnya pertengahan tahun tujuh puluhan, masyarakat internasional dikejutkan oleh berbagai tindakun kekerasan, khususnya aksi teror terhadap berbagai kepentingan Amerika Serikat[1] dan Israel. Aksi-aksi tersebut terus meluas seiring dengan datangnya milenium ketiga yang ditandai dengan serangan 11 September 2001 terhadap gedung WTC dan Pentagon. Islam dan umat Islam menjadi pihak yang tertuduh dalam aksi tersebut dan yang sebelumnya, dan dianggap sebagai ancaman" bagi kehidupan masyarakat dunia. Berbagai stigma dilekatkan. Islam identik dengan kekerasan, terorisme, fundamentalisme, radikalisme, dan sebagainya. Stigmatisasi ini seakan membenarkan pandangan beberapa pemikir Barat yang berpandangan Islam sebagai ancaman pasca-runtuhnya Soviet, seperti Samuel Huntington dengan tesisnya "the clash of civilization".

Dengan menggalang kekuatan internasional, AS melancarkan kampanye anti-teror. Atas nama itu Afghanistan dan Irak diserang. Berbagai organisasi dan gerakan keagamaan juga menjadi sasaran, terutama jaringan al-Qaeda internasional. Tuduhan tersebut menemukan relevansinya dengan pernyataan para pelaku yang menyebutkan motivasi keagamaan dibalik aksi mereka, sehingga banyak pengamat mengaitkan gerakan Islam garis keras dengan terorisme dan kekerasan. Kendati banyak faktor yang melatar belakanginya, seperti politik. ekonomi, sosial, psikologi, dan lainnya, tetapi faktor keyakinan dan pemahaman. Terhadap beberapa doktrin keagamaan agaknya yang paling dominan. Seakan perlawanan menentang hegemoni suatu kekuatan tertentu, yang notabene berbeda agama, ialam berbagai dimensi kehidupan mendapat legitimasi dari teks-teks keagamaan, tentunya dengan pemahaman yang literal (nashshl), parsial (juz'i) dan ekstrem/berlebihan (tatharruf/ghuluw). Sehingga, terkesan konflik bukan lagi karena akumulasi berbagai kekecewaan akibat hegemoni pihak tertentu, tetapi seakan meluas kepada konflik agama.

Fenomena meningkatnya gairah keagamaan, untuk tidak mengatakan kebangkitan Islam, di kalangan muda seperti disinyalir oleh Syekh Yusuf al-Qaradhawi juga telah diwarnai dengan sikap berlebihan (al-ghuluw) dan ekstremitas (at-tatharruf)[2] sehingga tuduhan banyak kalangan bahwa Islam menganjurkan kekerasan dan terorisme menjadi semakin melekat. Konsep menegakkan kebenaran dan memberantas kemungkaran (amar makruf nahi munkar) bagi sebagian kalangan menjadi dalih berbagai aksi kekerasan. Islam dan umat Islam 'seakan' menjadi tidak ramah lagi terhadap penganut agama lain. Padahal, sekian banyak teks keagamaan dalam Islam mengecam keras segala bentuk kekerasan dan terorisme seperti dalam pandangan banyak kalangan Barat. 
    
 Sejujurnya, kita dapat mengatakan, pandangan-pandangan seperti itu lahir disebabkan, setidaknya, oleh dua hal: 1) ketidaktahuan Barat tentang Islam yang sebenarnya, karena pengetahuan Barat tentang Islam diwarnai oleh buku-buku keislaman yang ditulis oleh orientalis pada masa penjajahan dahulu; 2) kerancuan dalam memahami konsep jihad dan perang dalam Islam dan mempersamakannya dengan terorisme dalam pandangan mereka.
  
 Atas dasar itu, merupakan suatu kewajiban bagi umat Islam untuk memahami lebih jauh lagi ajaran Islam, sebelum kita memahamkan orang lain dan membuktikan dengan tindakan nyata bahwa Islam adalah agama kedamaian yang akan menebar kasih di muka bumi. Kami utus engkau (hai Muhammad) tidak lain untuk menebar rasa kasih bagi semesta alam. (QS. al-Anbiya' [21]: 107)

Rabu, 20 Maret 2013

Etika Perang Dalam Islam


Perlakuan terhadap Warga Sipil dalam Perang


Di dalam magnum opusnya, al-Muqaddimah, Ibnu Khaldun menyebutkan bahwa sejarah perang dan segala bentuk perseteruan antarmanusia, sebenarnya seumur dengan sejarah dunia. Perseteruan dan konflik terjadi semenjak Tuhan menciptakan dunia yang akan terus terjadi selama manusia masih maujud di pentas dunia.[1] Al-Quran sendiri menyatakan bahwa peperangan adalah suatu hal yang sulit dihindari sama sekali, sehingga bila tujuannya legal (syar’i), yaitu untuk mengantisipasi serangan musuh,[2] perang diizinkan bahkan diwajibkan meskipun terasa berat dan menyakitkan, sesuai firman Allah swt:
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci”.(QS. Al-Baqoroh [2]: 216)

            Sebagaimana agama yang membumi  dan kompatibel dengan perkembangan dan pelajuan zaman, serta sesuai dengan hidup dan kehidupan manusia termasuk dalam menyikapi “ keniscayaan” perang dan konflik dalam kehidupan  maka tak aneh bila islam menyuguhkan sejumlah basis etika untuk “memanusiakan”  peperangan.

Hubungan Agama dan Negara
Adalah jelas  kiranya bahwa Islam memandang pihak non-Muslim tidak dari sudut pandang kebencian, fanatisme dan arogansi. Tetapi, sikap islam dalam non-Muslim manapun yang tidak memusuhi islam dilandasi oleh sikap toleran, kooperatif, persaudaraan atas nama kemanusiaan, dan penghormatan atas nama kemanusiaan, dan penghormatan terhadap setiap perjanjian dan kesepakatan. Dua ayat al-Quran (QS. Al-Mumtahanah [60]:8 dan 9) berikut ini dapat menggambarkan pandangan Islam tentang dasar hubungan Muslim dan non-Muslim, baik perseorangan atau antar kelompok /Negara:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada  memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negrimu. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negrimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”.

            Dua ayat di atas menginformasikan kepada kita tentang prinsip islam menyangkut  hubungan antaranegara, suatu prinsip yang sangat menekankan perdamaian dan kasih saying antarsesama ketimbang perang dan permusuhan. Bahkan, kepada mereka yang memusuhi islam, agama damai ini tidak lantas membolehkan bentuk pembalasan yang melampaui batas, karena penghormatan islam yang tinggi terhadap kesatuan asal manusia yang seharusnya selalu dihiasi oleh kedamaian dan kasih saying antarmereka. Disinilah kita mengerti mengapa sebelum dua ayat yang dikutip di atas, Allah menyinggung tentang pentingnya kasih saying antarmanusia:
“Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih saying antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. Dan Allah adalah Maha Kuasa. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(QS. Al-Mumtahanah[60]:7)

            Dapat dikatakan secara singkat bahwa prinsip hubungan antarnegara dalam pandangan islam sebenarnya dalam pandangan islam sebenarnya berdiri di atas landasan qur’ani yang kokoh, yaitu egalitarianism dan humanism islam (QS. An-Nisa [4]:1;ar-Rum [30]:22,perdamaian dan koeksistensi (QS. Al-Hujurat [49]:13, kerja sama untuk mewujudkan kemaslahatan (QS. Al-Maidah [5]:2), legalitas perang untuk membela kebenaran dan menjaga perdamaian (QS. Al-Anfal [8]:61, keadilan terhadap siapa pun tanpa melihat golongan, suku, bangsa atau agama (QS. Al-Baqoroh [2]:194;al-Maidah [5]:8;al-An’am [6]: 152, al-Mumtahanah[60]:8),dan penghormatan terhadap setiap perjanjian dan kesepakatan (Qs. Al-Anfal[8]:72; an-Nahl [16]:91-92).[3]

Perlindungan Warga Sipil dan Fasilitas Sipil Meskipun islam dalam situasi-situasi yang telah disinggung di atas mengizinkan, bahkan mewajibkan perang, namun agama salam nan rahmah ini tidak membiarkan peperangan yang dilegalkan itu tanpa batasan dan etika. Bahkan, dalam hal ini islam mendahului hukum perang positif yang dikenal dengan Hukum Humaniter Internasional (HHI) sebagaimana termaktub dalam Konvensasi Jenewa 1864 yang mengalami penyempurnaan melalui 4 konvensi Jenewa 1949 berkenaan dengan perlindungan korban perang, dan kemudian dilengkapi dengan protocol tambahan I dan II tahun 1977 tentang perlindungan korban perang pada situasi sengketa bersenjata internasional dan non-internasional.[4]

            Menyangkut kedudukan warga sipil dan non-kombatan dalam HHI dikenal adanya prinsip pembedaan (principle of distintion). Melalui prinsip ini, semua pehak yang terlibat dalam sengketa bersenjata harus membedakan antara peserta tempur (tentara/kombatan) dengan orang sipil. Tujuannya adalah untuk melindungi orang sipil, sehingga yang menjadi sasaran serangan dalam pertempuran hanyalah sasaran militer dan objek militer.[5]

            Prinsip pembedaan antara kombatan, non-kombatan, dan warga sipil dalam HHI ini sebenarnya bukanlah hal yang sama sekali asing dalam islam, jika tidak dikatakan bahwa islam mendahului HHI dalam hal ini. Prinsip pembedaan kombatan dan warga sipil ini sebenarnya telah termaktub dalam al-Quran lebih dari 10 abad sebelum adanya formulasi HHI yang baru muncul pada tahun 1864, yakni firman Allah swt:
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”.(QS. Al-Baqoroh [2]: 190)

            Dalam tafsir al-Qurthubi, sahabat Ibnu Abbas ra, Umar bin Abdul Aziz dan Mujahid menafsirkan ayat di atas sebagai berikut:
“Perangilah orang yang dalam keadaan sedang memerangimu, dan jangan melampaui batas sehingga terbunuhnya perempuan, anak-anak , tokoh agama dan semisalnya.”[6]

            Atas dasar inilah, seyogyanya segala bentuk pertempuran hanya terjadi di kalangan, dan dibatasi untuk, kombatan (tentara)yang memang bertugas untuk berperang. Adapun waarga sipil [7]dan non-kombatan[8] serta objek-objek dan fasilitas sipil, kesemuanya harus dilindungi dan ekses destruktif yang ditimbulkan dari suatu peperangan atau konflik bersenjata.[9] Prinsip pembedaan inilah yang kemudian diimplementasikan oleh nabi yang melarang membunuh warga sipil yang tidak ikut andil dalam suatu peperangan. Beberapa teks Hadis dan Atsar yang memerinci warga sipil dan non-kombatan yang harus dilindungi dari segala bentuk ekses operasi militer, serangan membabi buta, pembalasan dendam dan tidak dijadikan objek serangan atau dijadikan sebagai perisai dari serangan militer, antara lain:[10]
1.    Para Wanita dan Anak-Anak
 Abdullah bin Umar melaporkan, “Selama bebrapa peperangan Rasullullah saw.,seorang wanita ditemukan terbunuh, maka Rasullullah saw. melarang pembunuhan wanita dan anak-anak.” (HR.al-Bukhari). Dalam Hadis lain dilaporkan bahwa, “Seorang wanita ditemukan terbunuh. Rasullullah tidak menyetujui pembunuhan wanita dan anak-anak.” (HR. al-Bukhari dan Muslim. Hadis dengan arti yang sama diriwayatkan juga oleh Malik dan Majah)
2.                  Para ‘Asif (Pelayan Sewaan)

Rabah bin Rabi’ melaporkan, “ketika kami bersama Nabi dalam ekspedisinya, beliau melihat beberapa orang berkumpul dan mengirim seseorang dan berkata, ‘Lihatlah apa yang dikerumunkan orang-orang tersebut!’ Orang suruhan itu lalu dating dan berkata, ‘Beliau bersabda,’Dia (wanita) itu tidak berpegang [bagaimana mungkin sampai terbunuh]?’ (saat itu) Khalid bin Walid berada di barisan terdep[an; Nabi saw. pun mengutus seseorang untuk menyampaikan pesan, ‘Katakan pada Khalid untuk tidak membunuh wanita dan pelayan sewaan (‘asif)!.” (HR. Abu Dawud dan Ibn Majah)
‘asif di sini berarti kategori orang yang tidak ikut berperang tetapi ada dalam medan perang untuk mengerjakan tugas-tugas perawatan (paramedis) dan personel keagamaan militer. Dalam istilah Hukum Humaniter Internasional, ‘asif ini dapat dimasukkan sebagai tentara bukan pejuang atau non-kombatan.

3.                     Para Orang Tua Manula in Malik melaporkan bahwa Nabi saw. bersabda:
Pergilah atas nama Allah, percaya pada Allah dan tetap pada agama Rasul-Nya. Jangan membunuh orang-orang tua jompo,atau bayi, atau anak-anak, atau wanita; janganlah curang dalam harta rampasan, berlakulah dengan benar dan adil, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.”(HR.Abu Dawud)
Malik juga melaporkan dalam al-Muwaththa’ bahwa Umar bin Abdul Aziz, khalifah Umayyah kedelapan (717-120 M) pernah menginstruksikan kepada salah satu gubernurnya:
“Telah diwsiatkan kepada kita ketika Nabi saw. mengirimkan pasukan razia, beliau berkata,’Rampaslah harta mereka atas nama Allah , di Jalan Allah. Jangan  memutilasi mayat dan jangan membunuh anak-anak.’ Katakan hal yang sama kepada pasukanmu, Insya Allah kesejahteraan meliputi kamu.” (HR. Malik)

Para Agamawan dan Rohaniawan Yahya bin Sa’id melaporkan bahwa, “Abu Bakar ra. Menasihati Yazid bin Muawiyah, ‘Kamu akan menemukan sekelompok  orang yang mengaku telah mengabdikan diri sepenuhnya kepada Allah. Biarkanlah mereka atas apa yang diakuinya(Biarawan Kristen)…Aku menasihatimu sepuluh hal:Jangan membunuh para wanita atau anak-anak atau orang tua yang lemah. Jangan menebang pohon yang mengahsilkan buah, jangan membantai kambing atau unta kecuali untuk makanan. Jangan membakar tumah dam morak-morandakannya. Jangan mencuri barang rampasan perang, dan jangan bersikap pengecut’.” (HR. Malik)

Tawanan Perang Dalam memperlakukan tawanan perang yang tidak dalam posisinya lagi untuk melawan , islam memerintahkan Muslim untuk memperlakukan mereka secara baik sesuai firman Allah swt:
“Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di Medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mebngalahkan mereka, maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir.”[11]
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miski, anak yatim dan orang yang ditawan.”[12]

            Dalam praktiknya Rasullullah saw. mengimplementasikan perintah al-Quran terhadap tawanan perang dengan baik dan sering kali membebaskan mereka seperti dalam kasus Perang Hunain. Beberapa tawanan perang Badar  ditebus, dan beberapa yang lain diminta untuk mengajari anak-anak Muslim sebagai komensasi kebebasan mereka. Bahkan saw. bersikap sangat lembut dan penuh keluhuran budi kepada pihak musuh yang telah ditakhlukan walaupun beliau dulu pernah disakiti dan beberapa sahabat beliau dianiaya dan dibunuh mereka. Pada peristiwa Fath Makkah, beliau berkata ke[pada orang-orang kafir Quraisy yang telah ditaklukkan, “ pergilah,kalian sudah bebas”(HR. al-Baihaqi)

            Beberapa contoh teks keagamaan dalam islam tentang perlindungan warga sipil  dan non-kombatan serta fasilitas-fasilitas sipil dalam perang, memang tidak mencangkup semua spectrum warga sipil dan non-kombatan dalam konteks sekarang. Kendati demikian, adanya spirit islam mengenai batasan-batasan dalam sasaran perang berdasarkan asas perbedaan antara sipil dan kombatan, kemudian memerhatikan bahwa hukum islam mengakui ‘urf (kebiasaan) dan norma antarabangsa  sebagai sumber hukum sekunder (seperti bunyi kaedah fikih al-‘adah muhkamah, ats-tsabit bi al-‘urfi ka ats-tsabit bi asy-syay’), serta pentingnya konteks dalam perumusan hukum sesuai dengan tempat dan waktu (la yunkaru taghayyuru fatwa  wa ijtihad wa hukm bi taghayyuri az-zaman wa al-makan), maka konsep warga sipil dan non-kombatan di bawah kesepakatan Hukum Humaniter Intenasional yang telah diratifikasi oleh hampir seluruh negara dewasa ini, jika tidak bertentangan dengan islam, dapat dijadikan acuan teknis untuk pengertian warga sipil dan non-kombatan bagi umat Muslim dalam melaksanakan perang pada masa sekarang.[13]


[1] Dalam al-Muqaddimah h.145, Ibnu Khaldun menulis:
[2] Lihat antara lain: QS. Al-Hajj[22]: 39 dan QS. Al-Baqoroh [2]: 190.
[3] Penjelasan lebih rinci, lihat: Muhammad ad-Dasuqi, Ushul al-“Alaqat ad-Dawliyyah baina al-Islam wa at-Tasyri’at al-Wadh’iyyah, dalam M>H> Zaqzouq (Ed), Al-Tasamuh fi al-Hadharah al-Islamiyyah, (Cairo: al-Majlis al-A’la li al-Syu’un al-Islamiyyah, 2004), h. 599-603.
[4] Rina Rusman,Sejarah, Sumber, dan Prinsip Hukum Humaniter Internasional, kumpulan makalah Kursus HHI untuk Dosen PTN dan PTS hasil kerja sama Fakultas Hukum Undip dan International Committee of the Red Cross (ICRC), Semarang 11-16 Desember 2007.
[5] Ibid
[6] Al-Qurthubi,al-Jami’ li Ahkam al-Quran, Maktabah Syamilah versi 2, 1/519. Bandingkan , Ibnu ‘Athiyyah, al-Muharrir al-Wajiz,1/209.
[7] Dalam HHI,warga sipil adalah:1) orang tidak berperan aktif dalam peperangan dan tidak melakukan pekerjaan militer; dan 2) seseorang yang tidak memihak dengan menjadi anggota angkatan bersenjata, militan, korps sukarela, membentuk kelompok sejenis angkatan bersenjata dan gerakan perlawanan (lihat:pasal 3, konvensi Jenewa, 1949 dan pasal 15 (b) Konvensi Jenewa IV,1949).
[8] Istilah bukan- pejuang atau non-kombatan menunjuk kepada anggota angkatan bersenjata yang tidak pernah terlibat dalam pertempuran seperti menjadi personel medis, dan personel keagamaan militer atau tidak lagi mengambil peran dalam pertempuran (hors the combat)seperti tawanan perang, orang yang terluka dan korban dari kapal rusak (lihat pasal 4, pasal 1 dan pasal 8 (c ), protocol tambahan I/1977; pasal 9 Protokol Tambahan II/1977;dan pasal 24 dan 41 konvensi JenewaI/1949).
[9] Masri E.Bidin, Perlindungan Warga Sipil dan Tawanan dalam Perspektif HHI dan Syari’ah islam kumpulan kursus makalah HHI kerja sama Fak. Hukum UNDIP dan International Committee of the Red Cros (ICRC).
[10] Lihat : M. H. Hassan, Teroris Membajak Islam, (Jakarta:Grafindo Khazanah Ilmu 2007), h.185 dan seterusnya.
[11] QS.Muhammad [47]:4.
[12] QS.al-Insan [76]:8.
[13] Lihat:M.H.Hassan, Teroris Membajak Islam, h. 193-196.