Tampilkan postingan dengan label syahid. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label syahid. Tampilkan semua postingan

Senin, 22 April 2013

JIHAD YANG KAFFAH



A.    Pengertian dan Cakupan Mati Syahid

Kata syahid dan bentuk jamaknya syuhada digunakan dalam sejumlah ayat al-Qur’an. Diantaranya firman Allah yang menyatakan:
                                      
“Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pecinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Mereka itu teman yang sebaik-baiknya.” (Qs. An-Nisa [4]:69).

                Menurut Tafsir al- Fakhr ar-Razi, asy-syahid adalah orang yang memberi  kesaksian akan kebenaran agama Allah, baik dengan argument atau penjelasan, maupun dengan pedang dan tombak. Orang yang terbunuh di jalan Allah disebut dengan syahid. Sebab, orang tersebut mengorbankan jiwanya demi membela agama Allah dan jiwanya demi membela agama Allah dan menjadi kesaksian baginya bahwa agama Allah itu yang benar. Lain dari itu adalah batil( ar-Razi, 1995: jilid 5, h. 180). Dalam ungkapan yang lain, penulis at- Tafsir al-Wadhih menerangkan, bahwa syuhada adalah orang yang menyaksikan kebenaran dengan alasan dan bukti serta berperang di jalan Allah dengan pedang dan tombak hingga ia terbunuh (Hijazi, 1969: juz 5, h.32). Dalam pandangan kedua musafir itu, senjata yang  digunakan menunjuk kepada peralatan perang yang masih bersahaja yang digunakan pada masa al-Qur’an diturunkan.

                Menurut penulis Tafsir Majma’ al-Bayan, syuhada adalah orang-orang terbunuh di jalan Allah, bukan mati karena maksiat. Seorang muslim sangat dianjurkan untuk mendapatkan predikat syahid tetapi tidak boleh mendambakan dibunuh orang kafir sebab pebuatan itu adalah maksiat, yang terbunuh itu benar-benar ikhlas dalam menegakan kebenaran karena Allah, mengakui dan mengajak kepada kebenaran. Oleh karena itu Syuhada adalah predikat terpuji. Orang boleh mendambakan predikat itu, tetapi orang tidak boleh mendambakan dibunuh oleh orang kafir,sebab perbuatan itu adalah maksiat (ath-Thabari,1994: jilid 3, h. 121).

                Penegasan yang hampir sama dikemukakan oleh Imam ar-Razi. Ia mengatakan bahwa memohon kepada Allah agar mati terbunuh di tangan orang kafir tidak dibolehkan. Permintaan semacam itu adalah suatu bentuk kekafiran (Lihat ar-Razi, 1995: jilid 5, h. 180).

                Berkaitan dengan itu, Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, menjelaskan :

Barang siapa memohon kesyahidan kepada Allah dengan benar, Allah akan membuatnya sampai pada derajat kesyahidan, meskipun ia mati di atas tempat tidurnya(an-Nawawi, 2005 :245)

                Dalam hadis riwayat Imam Muslim yang lainnya Rasulullah SA, mengatakan:

Barang siapa mencari kesyahidan akan diberikan kepadanya, meskipun ia tidak gugur sebagai syahid” (an-Nawawi, 2005:245).

                Berdasarkan kedua hadis di atas, dapat dipahami bahwa kesyahidan dapat diidam-idamkan, namun kesyahidan yang dimaksud harus dengan jalan yang benar. Selain itu derajat kesyahidan dapat di peroleh meskipun orang yang bersangkutan tidak mati terbunuh. Dengan kata lain, derajat kesyahidan terletak pada nilai perbuatan seorang muslim yang telah turut serta berperang di jalan Allah.

                Menurut al- Jurjawi, Allah SWT,  memberi keutamaan kepada orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka. Allah berfirman: “ Mereka berperang di jalan Allah; sehingga mereka membunuh atau terbunuh” (Qs. At-Taubah[9]: 111). Itu tidaklah dimaksudkan bahwa mereka mesti mengalami kematian.

                Namun, maksudnya adalah mereka berperang baik mereka terbunuh atau tidak terbunuh. Jika mereka terbunuh, maka  hal itu adalah sesuatu yang jelas dan dimaklumi. Akan tetapi, jika mereka tidak terbunuh, maka mereka akan tetap memperoleh imbalan dan pahala. Mereka telah menantang bahaya dan menyiapkan diri untuk mati tanpa memperdulikan urusan dunia dengan segala keindahan dan perhiasannya. Mereka juga tidak memikirkan apa yang mereka tinggalkan seperti keluarga,harta benda dan anak-anak (al-Jurjawi,1997: jilid 2, h. 221-222).

Syuhada dikenal luas dalam sejarah Islam ketika terjadi perang Badar. Ketika itu tentara muslim berperang melawan tentara kafir Quraisy dari kaum muslimin gugur sebanyak 14 orang, sementara di pihak musyrikin gugur 70 orang. Tentara muslim yang gugur dimakamkan dengan perlakuan khusus sebagai syuhada, misalnya dengan tidak dimandikan. Perang Badar dimenangkan oleh pihak kaum muslimin. Kemenangan itu ditandai, antara lain, dengan keberhasilan mereka menekan jumlah korban di antara anggota pasukannya dan menghalau pasukan musuh.

                Perang Badar terjadi pada tahun kedua Hijrah. Nabi Muhammad SAW. Bersama para sahabatnya hijrah ke Madinah untuk menghindari gangguan dan penderitaan yang ditimbulkan oleh kaum musyrikin pada periode Mekkah selama kurang lebih 13 tahun. Ketika ancaman masih terjadi pada periode Madinnah, maka perang antar kedua belah pihak tak dapat dielakan. Fakta sejarah tersebut, sejalan dengan sabda Nabi Muhammad SAW. yang menyatakan:

Janganlah kalian mendambakan untuk bertemu dengan musuh, dan mintalah kepada Allah keadaan yang sehat sejahtera, namun jika kamu bertemu dengan mereka, maka tegarlah. Muttafaqun ‘alaih (an-Nawawi, 2005: 248).

                Tentara muslim yang mengikuti peperangan di jalan  Allah terikat dengan sejumlah ketentuan. Syarat-syarat utuk menjadi tentara, yakni: 1) Baligh, 2) Islam, 3)  Sehat jasmani dan rohani, dan 4) Keberanian (fisik yang tangguh, tahu tentang peperangan, terampil menggunakan senjata, mampu menghadapi kesulitan dalam perjalanan, dan tidak pengecut (Khattab, 1989: 56).

                Hampir senada dengan penjelasan di atas, ulama fiqih menyebutkan bahwa kewajiban untuk berjihad didasarkan atas beberapa ketentuan, yakni: muslim, laki-laki, berakal, sehat, dan memiliki bekal yang cukup baginya dan keluarganya hingga jihad selesai (Sabiq, 1983: jilid 3, h. 32). Ulama fiqih merinci sejumlah ketentuan dalam perang yang mencerminkan belas kasih (rahmah) yang terdapat dalam ajaran Islam. Dikatakan bahwa kalaupun Islam membolehkan perang sebagai salah satu tuntutan darurat, maka Islam memberinya batasan tertentu. Orang yang tidak terjun ke dalam kancah peperangan tidak boleh dibunuh, orang sakit, orang tua jompo, rahib, al-ubbad (ahli ibadah), dan al-ujara (pelayan). Islam juga mengharamkan al-mutslah (penyiksaan), membunuh hewan, merusak tanaman, air, mencemari sumur dan menghancurkan rumah. Islam melarang untuk membunuh orang terluka, mengejar orang yang lari dari medan perang. Hal itu disebabkan karena perang itu laksana tindakan operasi bedah, tidak boleh melampaui tempat penyakit itu berada v(Sabiq, 1983 : jilid 3, h. 60).

Diriwayatkan dari Anas ra., bahwasanya Nabi SAW. Bersabda: “ Berangkatlah kalian dengan nama Allah, dengan (pertolongan) Allah, sesuai tuntutan agama(yang diajarkan) Rasulullah, janganlah kalian membunuh orang tua jompo, anak yang masih kecil, perempuan, dan janganlah kalian melampaui batas, kumpulkanlah harta rampasan perang kalian, ciptakan kedamaian, dan berbuat baiklah sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (H.R. Abu Daud) (Sabiq, 1983: jilid 3, h. 47).

                Orang jompo dan wanita yang dikecualikan untuk dibunuh adalah mereka yang turut serta berperang atau memberi pertimbangan kepada pasukan musuh (Sabiq, 1983: jilid 3, h. 47). Menurut Tafsir Departemen Agama, orang beriman yang berjuang di jalan Allah dan mati syahid dalam peperangan melawan orang kafir dikategorikan sebagai syahid dunia dan akhirat., Istilah syahid akhirat digunakan terhadap : a) orang yang menghabiskan usianya berjuang di jalan Allah dengan harta dan dengan segala macam jalan yang dapat dilaksanakan; b) orang yang mati ditimpa musibah mendadak atau teraniaya, seperti mati bersalin, tenggelam, dan terbunuh dengan aniaya. Adapun syahid dunia digunakan terhadap orang yang mati berperang melawan orang kafir hanya untuk mencari keuntungan duniawi, seperti untuk mendapatkan harta rampasan, untuk mencari nama, dan sebagainya (Sakho Muhammad, et.al., 2004: jilid 2, h. 200). Pembagian syahid semacam ini  dikemukakan pula dalam sejumlah kitab, seperti Fiqh as Sunnah(Sabiq, 1983: jilid 3, h. 40).
                Terdapat beberapa ayat Al-Quran yang memuji orang-orang yang mati syahid, diantaranya:

 “Dan janganlah kamu mengatakan orang-orang yang terbunuh di jalan Allah telah mati, sebenarnya mereka hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.”(Qs. Al-Baqarah [2]: 154).

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Merka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh untuk terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan besar.” (Qs. At-Taubah [9]: 111).

Minggu, 21 April 2013

PERBEDAAN JIHAD DENGAN TERORISME


Selama ini terdapat anggapan yang salah di dalam masyarakat yang menyamakan jihad dengan terorisme. Bahkan, oleh kalangan yang tidak mengerti ajaran Islam yang luhur, Islam dicap sebagai agama teroris. Kekeliruan pemahaman ini bisa saja disebabkan oleh kurangnya pemahaman masyarakat mengenai Islam, tetapi tidak tertutup kemungkinan karena sebagian muslim justru melakukan jihad melalui aksi-aksi terorisme. Padahal antara jihad terorisme jelas terdapat perbedaan yang sangat mendasar.

Menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI), terorisme adalah “tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban yang menimbulkan ancaman serius terhadap kedaulatan negara, bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia merugikan kesejahteraan masyarakat. Terorisme adalah salah satu bentuk kejahatan yang diorganisasi dengan baik (well-organized), bersifat transnasional dan digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang tidak membedakan sasaran (indiscriminative)”.

Menurut Konvensi PBB tahun 1939, terorisme adalah segala bentuk tindakan kejahatan yang ditujukan langsung kepada Negara dengan maksud menciptakan bentuk terror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas. Dalam kamus Webster’s New School and Office Dictionary dijelaskan: “terrorism is the used of violence, intimidation, etc to gain to end; especially a system of government ruling by terror,….”(Terorisme adalah penggunaan kekerasan, intimidasi, dsb untuk merebut atau menghancurkan, terutama, sistem pemerintahan yang berkuasa melalui terror…). Dari ketiga definisi tersebut dapat dipahami bahwa terorisme adalah kejahatan (crime) yang mengancam kedaulatan negara (against state/nation), melawan kemanusiaan (against humanity) yang dilakukan dengan berbagai bentuk tindakan kekerasan.

RAND Corporation, sebuah lembaga penelitian dan pengembangan swasta terkemuka di AS, melalui sejumlah penelitian dan pengkajiannya, menyimpulkan bahwa setiap tindakan kriminal. Definisi lain menyatakan bahwa: (1) terorisme bukan bagian dari tindakan perang, sehingga seyogyanya tetap dianggap sebagai tindakan kriminal, termasuk juga dalam situasi diberlakukannya hukum perang; (2) sasaran sipil merupakan sasaran utama terorisme, dan dengan demikian penyerangan terhadap sasaran militer tidak dapat dikatergorikan sebagai tindakan terorisme; (3) meskipun seringkali dilakukan untuk menyampaikan tuntutan politik, aksi terorisme tidak dapat disebut sebagai aksi politik.

Dan uraian tersebut di atas, jelas sekali perbedaan antara terorisme dengan Jihad. Pertama, terorisme bersifat merusak (ifsad) dan anarkis/ chaos (faudha). Kedua, terorisme bertujuan untuk menciptakan rasa takut dan atau menghancurkan pihak lain. Ketiga, terorisme dilakukan tanpa aturan dan sasaran tanpa batas. Sebaliknya, jihad bersifat perbaikan (islah), sekalipun sebagian dilakukan dengan berperang. Jihad bertujuan untuk menegakan agama Allah dan atau membela hak pihak yang terdzalimi. Jihad dilakukan dengan mengikuti aturan yang ditentukan oleh Syariat dengan sasaran musuh yang sudah jelas.

Karena itulah, menurut MUI, hukum melakukan terror secara qath’ie adalah haram, dengan alasan apapun, apalagi jika dilakukan di negeri yang damai (dar al-shulh) dan Negara muslim seperti Indonesia. Hukum jihad adalah wajib bagi yang mampu dengan beberapa syarat. Pertama, untuk membela agama dan menahan agresi musuh yang menyerang terlebih dahulu. Kedua, untuk menjaga kemaslahatan atau perbaikan, menegakan agama Allah dan membela hak-hak yang teraniaya. Ketiga, terikat dengan aturan seperti musuh yang jelas, tidak boleh membunuh orang-orang tua renta, perempuan, dan anak-anak yang tidak ikut berperang.

Kamis, 18 April 2013

Jihad dalam Islam


Menurut pengertian bahasa, jihad berasal dari kata juhd (Arabic word)  yang berarti kemampuan, atau mengeluarkan sepenuh tenaga dan kemampuan dalam mengerjakan sesuatu. Kata jihad juga berasal dari kata Jahd (Arabic word) yang berarti kesukaran yang untuk mengatasinya harus dilakukan dengan sungguh-sungguh.  Jihad juga berarti perang. Demikianlah keterangan Wahbah al-Zuhaili dalam Kitab al-Fiqh al-Islam wa adillatuhu. Singkatnya, menurut pengertian bahasa, jihad berarti bekerja keras, bersungguh-sungguh, mengerahkan seluruh kemampuan untuk menyelesaikan suatu masalah atau mencapai tujuan yang mulia.

                Menurut Al-Ragib al-Isfahani, Kitab Mu’jam Mufradat lial-fadz Al-Qur’an dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan jihad adalah mengerahkan segala kemampuan untuk menangkis serangan dan menghadapi musuh yang tidak tampak yaitu hawa nafsu setan dan musuh yang tampak yaitu orang kafir yang memusuhi Islam. Jihad dalam pengertian ini tidak hanya mencangkup pengertian perang melawa musuh yang memerangi Islam tetapi lebih luas lagi, jihad berarti berusaha sekuat tenaga dan kemampuan untuk mengalahkan nafsu setan dalam diri manusia.

                Selain pengertian diatas, para fuqaha mengertikan jihad sebagai upaya mengerapkan segenap kekuatan dalam perang fi sabilillah baik secara langsung, maupun dalam bentuk pemberian bantuan keuangan, pendapat atau penyediaaan logistik dan lain-lain untuk memenangkan peperangan (Ibn Abidin, Hasyiyah Ibn Abidin, 111/336). Senada dengan Ibn Abidin, An-Nabhani dalam Asy- Syakhsiyah al-Islamiyyah, 11/53 mendefinisikan jihad sebagai perang terhadap orang-orang kafir untuk meninggikan kalimat Allah.
                Di dalam Al-Qur’an kata jihad dalam berbagai kata bentukannya disebutkan sebanyak 41 kali. Dari beberapa ayat tersebut, jihad dapat berarti perjuangan yang berat, mengerahkan segenap kemampuan untuk meraih suatu tujuan dan berperang. Jihad yang berarti berperang lebih banyak disebutkan dengan kata “qital”, hanya sebagian kecil yang disebutkan dengan kata “Jihad”. Jihad  dalam pengertian pertama bekerja keras dengan seluruh kemampuan antara lain disebutkan dalam firman Allah :

“Apabila keduanya (ibu bapak) berjihad (bersungguh-sungguh hingga letih memaksamu) untuk mempersekutukan aku dengan sesuatu yang tidak ada bagimu pengetahuan tentang itu ( apalagi jika kamu telah mengetahui bahwa Allah tidak boleh dipersekutukan dengan sesuatu apapun), jangan taati mereka, namun pergauli keduanya di dunia dengan baik.(Qs. Luqman [31]: 15).

Sedangkan jihad yang berarti berperang antara lain disebutkan dalam firman Allah, surat al-Baqarah, ayat 190:

 “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, tetapi janganlah melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
(Qs. Al-Baqarah[2]: 190)

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa jihad adalah usaha yang sungguh-sungguh dengan segenap kemampuan untuk mencapai tujuan luhur di jalan Allah. Jihad dapat dilakukan dengan bekerja keras melawan hawa nafsu yang menghancurkan dan menjerumuskan manusia kepada kebinasaan. Jihad dalam bentuk perang oleh Allah demi menjaga kehormatan, harkat dan martabat manusia dan kaum muslimin.



Rabu, 17 April 2013

Hakikat Jihad



Jihad merupakan salah satu ajaran Islam yang sangat penting. Jihad merupakan bagian tak terpisahkan dari iman. Kuat atau lemahnya iman seseorang salah satunya diukur dari keberanian dan kesabarannya berjihad di jalan Allah. Iman yang kuat akan senantiasa menggelorakan semangat seorang mukmin untuk berjihad. Sebaliknya, iman yang lemah membuat seorang mukmin takut berjihad karena kesulitan dan tantangan yang sangat berat. Bagi mukmin yang beriman dan berjihad dijanjikan oleh Allah pahala surga, kehidupan yang mulia dan kedudukan yang terhormat di sisi-Nya.

                Sejarah gemilang perjuangan umat Islam dalam membina dan membangun masyarakat muslim terkait erat dengan jihad Rasulullah dan para sahabatnya. Rasulullah Muhammmad SAW berserta para sahabatnya menjadikan jihad sebagai spirit menegakkan syariat Islam. Para pejuang kemerdekaaan di negara-negara muslim mengobarkan semangat jihad melawan penjajahan yang bertentangan dengan tauhid, tidak sesuai dangan peri kemanusiaan dan keadilan. Dengan semangat jihad, para pahlawan kemerdekaan Indonesia yang mayoritas adalah ulama dan tokoh muslim telah melawan penjajahan yang menimbulkan penderitaan, kebodohan dan kemiskinan rakyat.

                Sayangnya, jihad sebagai ajaran Islam yang suci telah mengalami pergeseran makna dan pengalamannya. Beberapa kelompok muslim menyalahgunakan jihad sebagai dalih untuk melawan tindakan kekerasan, terorisme dan pembuatan makar. Dalam beberapa dasa warsa terakhir jihad secara sangat efektif dipergunakan oleh kelompok-kelompok muslim ekstrim untuk melegalkan bom bunuh diri. Pemahaman jihad yang keliru sudah terbukti menodai kesucian jihad dan mencoreng wajah Islam yang damai. Sehubungan dengan aksi-aksi yang mengatasnamakan jihad yang keliru tersebut, lembaga-lambaga pendidikan Islam khususnya madrasah dan pesantren disorot tajam, bahkan dituduh sebagai sarang teroris. Sesuatu yang sangat merugikan citra Islam.