Tampilkan postingan dengan label ayat alquran. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ayat alquran. Tampilkan semua postingan

Kamis, 04 April 2013

Distorsi Penafsiran Ayat al-Qur’an



Sampai titik ini, semakin jelas kiranya bahwa Islam tidak membenarkan memerangi seseorang atau negara non-Islam hanya semata-mata karena perbedaan agama. Tetapi,beberapa ayat mengenai perang memang sering mengalami distorsi makna akibat pemahaman parsial dan tidak utuh.  Misalnya, ayat-ayat tentang perang yang terdapat dalam surah at-Taubah [9] ayat 5, 14, 29, dan 36 yang diambil secara sepotong-sepotong tidak jarang menggiring ke pemahaman bahwa Islam memerintahkan untuk memerangi siapa saja yang berbeda agama.  Padahal, bila ayat tersebut dicermati dan dibaca secara utuh, pemahaman ekstrem seperti ini menjadi jelas penyimpangannya karena bertentangan dengan karakteristik dasar Islam yang rahmah dan penuh damai.
Dalam ayat 5 surah at-Taubah, misalnya, potongan ayat yang artinya, “Maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kamu jumpai”, harus dibaca dalam konteks yang utuh dan mengaitkannya dengan ayat sebelum dan sesudahnya, yaitu tentang orang-orang musyrik yang melanggar perjanjian damai dan yang tetap setia dengan perjanjian damai. Perintah Allah adalah memerangi orang-orang musyrik yang berkhianat dan melanggar perjanjian damai.  Dengan demikian, orang-orang musyrik yang tetap setia dengan perjanjian damai dan tidak membantu orang-orang yang memusuhi kaum Muslim, maka tidak boleh diperangi.  Orang-orang musyrik ini dapat bebas tanpa gangguan dan dijamin keamanannya selama masa ikatan perjanjian (ayat 4 surah at-Taubah).  Dan, dalam ayat 6 sesudahnya, Allah memerintahkan kepada Nabi saw. Dan kaum Muslim untuk memberikan jaminan keamanan bagi orang-orang musyrik yang meminta perlindungan.
Pada ayat 14 surah at-Taubah, orang-orang non-Muslim yang diperintahkan untuk diperangi adalah mereka yangmelanggar perjanjian damai dan berencana memerangi kaum Muslim, seperti yang dapat dibaca dengan jelas dari ayat sebelumnya (ayat 12 dan 13surah at-Taubah).  Demikian pula dengan ayat 29 dan 36 pada surah yang sama.  Dalam ayat 29, Allah memerintahkanuntuk memerangi orang-orang kafir (Ahlul-Kitab) karenaadanya niat permusuhan dalam dirimerekapada waktu itu untuk memerangi kaum Muslim.  Sementara dalam ayat 36, perintah perang kepadea kaum musyrik di bulan Haram, karena kaum musyrik itu telah berkhianat dan melanggar perjanjian dengan melakukan penyerangan di bulan Haram yang dalam tradisi Arab dilarang melakukan peperangan.[1]
Dalam konteks ini, ayat lain yang sering kali mengalami distorsi makna sehingga terkesan radikal adalah ayat 193 surah al-Baqarah dan ayat 39 surah al-Anfâl.  Dua ayat ini, yaitu firman-Nya, “Dan perangilah mereka, supaya jangan ada finah dan supaya kepatuhan seluruhnya semata-mata untuk Allah.
Ayat 193 surah al-Baqarah yang memerintahkan kaum Muslim untuk berperang di sini harus dibatasi untuk berperang melawan mereka yang lebih dahulu melakukan agresi, sebagaimana terbaca dalam ayat 190 sebelumnya:


Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menukai orang-orang yang melampaui batas”.
Kemudian, dalam ayat 192 selanjutnya, al-Qur’an menyatakan bahwa peperangan itu harus dihentikan bila pihak musih menghentikan serangan,”Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi MahaPenyayang.”  Menurut pakar tafsir M. Quraish Shihab, bila ayat 190 berbicara tentang kapan peperangan diizikan (yaitu saat ada musuh yang lebih dulu menyerang), maka ayat 192 dan 193 menjelaskan kapan peperangan mesti dihentikan.
Tujuan dari aturan perang seperti ini tidak lain agar tidak timbul fitnah, yakni “agar kekuatan syirik kaum musyrik itu tidak menimbulkan fitnah yang dapat menyakiti kaum Muslim sebagaimana dulu mereka menyakiti kaum Muslim di Mekkah;”[2] dan agar “wa yakûna al-dînu Lillâh” (kepatuhan hanya semata-mata kepada Allah), yakni bahwa ketentuan-ketentuan Allah harus ditaati, antara lain member kebebasan kepada siapa pun untuk memilih dan mengamalkan agama dan kepercayaannya karena masing-masing akan mempertanggungjawabakannya, sesuai firman-Nya, “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku” (QS. Al-Kâfîrun [109]: 6).[3] sengaja disebarkan untuk memperburuk citra Islam.  Sebaliknya, Islam adalah agama damai yang penuh rahmat.  Bahkan, jika dicermati lebih teliti dari aspek kata Islam itu sendiri, secara kebahasaan, sebenarnya ada kesesuaian antara lafal Islam (îslâm) dengan kedamaian (salâm).  Dua lafal itu islâm dan salâm merupakan derivat yang berasal dari akar kata yang sama, yakni dari gabungan huruf sîn, lâm, dan mîm, yang berarti “selamat”dan “damai”.
Demikian pula, didalam al-Qur’an, Allah menyifati zat-Nya sebagai as-Salâm (Mahadamai).  Ucapan penghormatan umat Islam disebut ucapan salâm (kedamaian) untuk mengingatkan pengucapannya bahwa salâm atau kedamaian itu merupakan tujuan utama yang harus disebarkan dan tidak boleh sedikit pun lepas dari ingatan.  Lebih dari itu, setiap hari seorang Muslim diwajibkan paling kurang lima kali mengucapkan penghormatan Islam salâm di akhir setiap shalat; salâm kedamaian untuk sisi kanan dan kiri yang meliputi dua belahan bola bumi.
Demikianlah, jelas kiranya karakteristik Islam sebagai Agama yang damai dan penuh rahmat.  Dari itu,tak ada tempat dalam agama ini  bagi kekerasan dan radikalisme, atau fanatisme dan terorisme, serta berbagai bentuk kelaliman yang merusak dan menghancurkan kehidupan dan/ atau hak milik orang lain.  Terlebih lagi bila kita menyadari bahwa tujuan pokok dari ajaran Islam (maqâshid syari’ah) adalah menjaga danmemelihara hak-hak manusia yang paling mendasar, khususnya hak hidup,hak beragama, hakmemlihara akal, keluarga dan kepemilikan.  Tidaklah aneh karenanya bila Islam mengharamkan berbagai bentuk tindak kekerasan dan kelaliman kepada orang/golongan lain, sampai-sampai Islam menganggap kelaliman yang dilakukan kepada seorang manusia, sama artinya melakukan kelaliman kepada umat manusia secara keseluruhan, sebagai dinyatakan dalam Kitab Suci Islam:


Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.  Dan, barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 32)




[1] Tinjauan lebih lanjut tentang ayat-ayat ini dapat dilihat dalam: Nasir Abas, Membongkar Jamaah Islamiyah, (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2005), cet. II h. 197 dan seterusnya.
[2] Muhammad Imârah (ed), al-A’mâl al-Kâmilah li Muhammad ‘Abduh, h. 4, 490, 491, 492.  Bandingkan M. Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, 9/552. Menarik untuk dicermati di sini bahwa al-Qur’an menggunakan kata wa qâtilûhum hattâ lâ takûna fitnah (“perangilah mereka agar tidak ada fitnah lagi”), bukan wa qâtilûhum hattâ yuslimû (“perangilah mereka sampai mereka masuk Islam”) yang menunjukkan bahwa tujuan peperangan ini bukanlah karena alasan perbedaan agama dan keyakinan (Lihat: Fahmî Huwaydî, Muwâthinûn lâ Dzimmyyûn, h. 256).
[3] M. Quraish Shihab, Ayat-ayat Fitna, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), h. 62. 

Rabu, 03 April 2013

Tinjauan Redaksi dan Hubungan Ayat



Secara redaksional, dalam ayat tersebut disebutkan bahwa untuk orang-orang Yahudi ditunjuk dengan redaksi lan, sedangkan untuk orang Nasrani dengan kata .  Menurut para pakar bahasa Al-Qur’an, kata lan digunakan untuk menafikan sesuatu di masa datang, dan penafian tersebut lebih kuat daripada yang digunakan untuk menafikan sesuatu tanpa mengisyaratkan masa penafian tersebut, sehingga boleh saja ia terbatas untuk masa lampau, kini, atau masa datang.3[1]
                                   
                Di sisi lain, ayat tersebut secara tegas menyatakan bahwa selama seseorang itu al-Yahûdi (Yahudi) bukan alladzîna hâdû atau ahl al-Kitâb, maka pasti tidak akan rela terhadap umat Islam hingga umat Islam mengikuti agama/ tata cara mereka, dalam arti menyetujui sikap dan tindakan serta arah yang mereka tuju.  Mengapa perlu penjelasan kalimat terakhir ini? Karena ada sementara orang yang berpendapat bahwa orang-orang Yahudi tidak akan pernah rela sampai umat Islam memeluk atau masuk ke dalam agama Yahudi.  Pandangan seperti ini jelas keliru karena bertolak belakang dengan doktrin dan realitas orang-orang Yahudi yang bersikap eksklusif dalam arti tidak mau ada orang lain yang masuk agama Yahudi.  Maka dapat juga disimpulkan bahwa agama Yahudi bukanlah agama misi dalam arti pemeluknya harus mendakwahkan kepada oran lain agar memeluk agama Yahudi.  Mengapa mereka bersikap demikian?
               
                Menurut para ahli perbandingan agama, dalam kacamata  Yahudi manusia dibagi menjadi dua:
1.       Yahudi
2.       Joyeem atau Ummiyin, yaitu orang-orang non-Yahudi (kafir menurut mereka)
Orang Yahudi adalah umat Tuhan yang terpilih.  Mereka itu adalah anak-anak Tuhan yang sangar dicintai-Nya.  Jiwa-jiwa mereka dicipta dari jiwa Tuhan, dan asal-usul mereka sama dengan asal-usul Tuhan, hanya mereka saja anak-anak Tuhan yang suci murni dan Tuhan telah mengaruniakan mereka dalam perspektif kemanusiaan sebagai penghormatan terhadap mereka.4[2]
                Adapun kelompok Joyeem atau non-Yahudi diciptakan dari asal-usul setan dan tujuan penciptaan ini adalah agar mereka berkhidmat kepada kaum Yahudi, mereka tidak dikaruniakan bentuk dan rupa kemanusiaan agar mereka menjadi pengikut bangsa Yahudi sebagai bentuk penghormatan Tuhan kepada mereka.  Oleh karena itu, sudah menjadi hak bagi kaum Yahudi untuk memperlakukan terhadap mereka sebagai binatang atau bahkan lebih.  Maka, atas kelompok non-Yahudi, orang Yahudi boleh melakukan apa saja termasuk menipu, memperkosa perempuannya, merampas harta mereka, dan lain-lain.  Inilah yang diisyaratkan dalam QS. Ali ‘Imrân [3]: 75.

Berdasar pada penjelasan di atas, mustahil kalau oirang-orang Yahudi membiarkan orang lain masuk ke dalam agama mereka apaalagi mengajaknya dengan misi Yahudinisasi.  Yang paling mungkin adalah orang non-Yahudi harus tunduk mengikuti aturan mereka.  Itu pun seperti yang tesirat dalam penggunaanredaksi dalam ayat di atas tidak semua Yahudi.

Ini berbeda dengan orang-orang Nasrani, penafian Al-Qur’an terhadap an-Nashârâ yang dalam ayat di atas menggunakan kata tidak setegas penafiannya terhadap al-Yahûd, boleh jadi tidak semua bersikap demikian.  Atau boleh jadi juga sekarang dan masa lalu, teteapi masa datang tidak lagi.  Dan yang jelas secara doktrin dan realitas agama Nasrani termasuk agama misi dalam arti menyuruh kepada pemeluknya agar menyampaikan, mengajak, dan kalau perlu dengan segala cara agar seluruh manusia masuk ke dalam agama Nasrani.

Dari penjelasan di atas tampak jelas secara redaksional menyamakan mereka sungguh tidak tepat , yang terjadi justru sebaiknya bahwa kedua komunitas tersebut adalah sangat berbeda termasuk sikap mereka terhadap umat Islam.  Bagaimana dengan konteks ayat atau munâsabah ayat di atas?

Ayat tersebut terletak di antara ayat-ayat yang berbicara tentang Bani Israil, yaitu seperti yang juga telah di singgung di atas, mulai dari ayat 40 sampai kira-kira ayat 146.  Ayat sebelumnya, khusunya ayat 116 dan 118, berisi penjelasan tentang kesesatan kaum Bani Israil.  Maka, sungguh sangat wajar jikalau dalam ayat 120 ini memberi informasi penegasan bahwa perilaku buruk mereka yang lain di antaranya adalah tidak rela sebelum Nabi Muhammad saw. beserta umat Islam tunduk kepada aturan hidup mereka.  Dan, yang juga harus diberi catatan adalah khususnya untuk golongan an-Nashârâ yang penafiannya tidak merujuk waktu tertentu (), maka yang bersikap demikian adalah boleh jadi golongan Nasrani yang hidup pada masa RAsulullah saw.

Pemahaman tersebut akan menjadi lebih jelas apabila dikaitkan dengan ayat sesudahnya, 121 yang dalam ayat tersebut berisi penjelasan tentang sikap sementara kelompok Bani Israil yang dalam redaksi ayat tersebut diungkap dengan “orang-orang yang telah Kami beri al-Kitab” yang dipuji oleh Al-Qur’an dengan pernyataannya “mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya”.  yang berarti ada di antara kelompok tersebut yaitu diberikan oleh Allah swt. Al- Kitab, yaitu Taurat dan Injil yang baik, dalam arti mereka mengikuti tuntunan yang terdapat dalam Kitab-Kitab tersebut secara baik dan sempurna serta sesuai dengan apa yang diturunkan Allah swt.

Memahami kedua kelompok tersebut secara sama dengan sikap menggeneralisir khususnya dalam hal hubungannya dengan umat Islam sekali lagi sungguh kurang tepat.  Bagaimana dengan pendapat para mufasir tentang ayat tersebut?


[1] Az-Zarkasyi, al-Burhân Fî ‘Ulûm al-Qur’ân, juz IV, h. 351 dan 387.
4 Ahmad Syalabi, Muqâranât al-Adyân: al-Yahûdiyyah, h. 242.