Tampilkan postingan dengan label kemaksiatan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kemaksiatan. Tampilkan semua postingan

Jumat, 17 Mei 2013

Menghindari Penegakan Nahi karena Khawatir Menimbulkan Mudharat yang Lebih Besar




Membuka bab ini, kedua penulis bertanya-tanya, bagaimana jika pelaku amar makruf nahi mungkar memperkirakan bahwa kemungkaran tidak akan berhenti dengan tindakannya, malah bisa berubah menjadi kemungkaran yang lebih dahsyat lagi? Dalam keadaan seperti ini, apakah penegak amar makruf nahi mungkar sebaiknya meneruskan tindakannya untuk menghentikan kemungkaran, ataukah sebaiknya ia tidak meneruskan usaha tindakannya tersebut? Jika ia memutuskan meneruskan usahanya itu, apakah berarti ia harus bersikap masa bodoh dengan akibat usahanya itu, yaitu kemungkinan berubahnya kemungkaran menjadi kemungkaran yang lebih besar?
                                                
Kedua penulis lalu mencontohkan beberapa kasus. Misalnya menyiram wajah perempuan yang bersolek dengan air mendidih, atau menghancurkan kuburan orang-orang yang tidak diketahui identitasnya, atau menggusur lokalisasi prostitusi tanpa memberikan solusi alternatif pilihan alih pekerjaan. Tindakan-tindakan tersebut memang bisa diniatkan sebagai penegakan nahi mungkar, tetapi justru dapat menimbulkan kemungkaran atau mudharat yang jauh lebih besar. Atas tindakan-tindakan seperti itu, Asy-Syathibi menyebutnya sebagai tindakan yang tidak benar dan tidak sesuai dengan ajaran syariat. Jika kemaslahatan yang lebih besar tidak dicapai maka suatu tindakan tidak bisa dikatakan menjadi amar makruf nahi mungkar. Demikian dinyatakan juga oleh Al-Izz bin Abdussalam. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pun dalam kitab Fatawa-nya mengatakan bahwa syariat Islam diajarkan untuk mendatangkan maslahat dan menjauhkan mudharat. Jika ada dua maslahat bertentangan maka yang diperjuangkan adalah maslahat yang lebih besar, sedangkan bila ada dua mudharat yang mungkin timbul maka yang dijauhkan adalah mudharat yang lebih besar. Allah Swt berfirman, “Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamar dan judi. Katakanlah, ‘Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya....’” (QS. Al-Baqarah [2]: 219).

Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa perintah melakukan amar makruf nahi mungkar memang disebutkan secara umum. Artinya seperti tidak ada pengecualian sama sekali. Namun, menurut Imam Al-Ghazali, pada praktiknya, penegakan amar makruf nahi mungkar harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Dengan begitu, memungkinkan adanya pengecualian dalam tindakan amar makruf nahi mungkar, baik berdasarkan ijmak maupun qiyas (silogisme). Tindakan yang dilakukan dalam nahi mungkar, misalnya, harus dilihat dari pelaku kemungkarannya, tidak sekadar perbuatan mungkarannya. Jika jelas diketahui bahwa pelaku kemungkaran itu tidak mungkin bisa dicegah atau ditanggulangi dari kemungkaran tersebut maka bisa jadi memang tak ada gunanya menegakan nahi mungkar terhadapnya.

Kedua penulis bahkan menyatakan, jika seseorang memperkirakan penegakan nahi mungkar justru menimbulkan kemungkaran yang lebih besar maka tanpa diragukan lagi wajib baginya untuk meningalkan penegakan nahi mungkar. (hal. 141)

Kedua penulis kemudian menutup bab ini dengan mengutarakan bahwa menghindari tindakan nahi mungkar seperti itu memang biasanya luput dari perhatian kebanyakan orang. Untuk itu, bab ini menjadi sangat penting bagi para penegak amar makruf nahi mungkar. Sesungguhnya ajaran-ajaran syariat Islam saling melengkapi satu sama lain. Ajaran-ajaran tersebut tidak mungkin saling bertentangan karena syariat Islam datang dari Allah yang Maha Mengetahui dan Mahateliti. Karena itu, penegakan amar makruf nahi mungkar tidak selayaknya bertentangan dengan tujuan dan kelembutan dakwah. Harus diakui pula bahwa hilangnya kemungkaran dari seseorang juga didasarkan pada  hidayah dari Allah Swt. Dengan begitu, penegakan amar makruf nahi mungkar jangan sampai bertentangan dengan tujuan amar makruf nahi mungkar lain yang lebih besar.

Senin, 06 Mei 2013

Menutupi Aib Orang Lain





Bab ini menerangkan bahwa mengumumkan pelaku kemaksiatan dapat membuatnya kehilangan kehormatan. Karena itu, seorang penegak amar makruf nahi mungkar tidak boleh  berkoar-koar mengenai seseorang yang telah berbuat maksiat. Alasannya, hal itu dapat membuat semua orang kelak akan mempermalukan si pelaku maksiat sepanjang hidupnya. Justru yang harus dilakukan adalah menutupi keburukan si pelaku maksiat itu agar ia dapat kembali bermasyarakat dan menjadi orang baik.
                                        
Sebuah teladan yang sangat baik pernah ditunjukkan Rasulullah Saw. Yaitu ketika ada seorang sahabat Anshar yang mempertontonkan budaknya yang telah berzina kepada banyak orang. Rasulullah Saw segera bertindak untuk mencegah hal itu sehingga sang budak bisa diselamatkan dari aib yang lebih besar. Dalam sebuah Hadis, disebutkan bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda, “Jika salah seorang budakmu berbuat zina maka telitilah dengan saksama. Jika memang terbukti ia telah berzina maka hukumlah ia dengan hukuman hudud, lalu tutupi-tutupilah aibnya itu.” Hadis ini menjelaskan bahwa Rasulullah Saw melarang pemilik budak itu untuk mempermalukan budaknya di depan umum.

Dalam Hadis lain yang diriwayatkan oleh Uqbah bin Amir, Rasulullah Saw bersabda, “Barang siapa melihat aib orang lain lalu ia menutupinya maka ia laksana telah menolong orang lain itu dari kematian akibat sedang dikubur hidup-hidup.” Dalam sebuah Hadis lain, Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Barang siapa menutupi aib saudaranya maka Allah akan menutupi aibnya pada hari Kiamat. Barang siapa membuka aib saudaranya maka Allah akan membuka semua aibnya, bahkan sampai aib yang ia sembunyikan di dalam rumahnya.”

Kedua penulis mengakui bahwa ditutupnya aib pelaku kemungkaran merupakan sebuah hadiah dari Rasulullah Saw. Adapun orang yang mau menutupi aibnya itu maka dijanjikan akan mendapatkan balasan terbaik di dunia dan akhirat, bahkan akan dimasukkan ke dalam surga. Dalam sebuah Hadis Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Barang siapa menutupi aib seorang muslim maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat.” Abu Sa’id Al-Khudri juga pernah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Jika seorang mukmin mengetahui aib saudaranya lalu ia menutupinya maka Allah pasti akan memasukkannya ke dalam surga.” (hal. 57)

Kedua penulis mengungkapkan bahwa ditutupinya aib pelaku kemungkaran merupakan salah satu faktor penting demi mencegah semakin tersebarnya kemungkaran yang sama. Hal itulah yang menjadi tujuan utama adanya perintah amar makruf nahi mungkar.