Tampilkan postingan dengan label kebaikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kebaikan. Tampilkan semua postingan

Selasa, 14 Mei 2013

Berbuat Baik kepada Kedua Orang Tua




Allah Swt berfirman, “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik....” (QS. Luqman [31]: 15). Memang syirik merupakan dosa paling besar, tetapi menghormati orang tua merupakan kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan sampai kapan pun. Kedua hal ini bisa dipisahkan secara bijak. Karena itu, sungguh salah besar jika seseorang berani melawan atau menyakiti orang tuanya, meski orang tuanya itu tengah berbuat kemungkaran, termasuk berbuat syirik. Al-Quran bahkan melarang sekadar sedikit membantah orang tua, sebagaimana disebutkan dalam ayat, “...maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan, ‘Ah....’” (QS. Al-Isra` [17]: 23).
                                                   
Bahkan, perintah Allah Swt untuk berbuat baik kepada kedua orang tua disandingkan dengan perintah untuk menyembah-Nya, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak....”  (QS. Al-Isra` [17]: 23). Allah juga berfirman, “Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua....” (QS. An-Nisa` [4]: 36).

Tidak boleh menyakiti orang tua karena orang tualah yang paling susah ketika membesarkan anaknya. Allah Swt berfirman, “Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan....” (QS. Al-Ahqaf [46]: 15). Allah Swt juga berfirman, “Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu” (QS. Luqman [31]: 17).

Rasulullah bersabda, “Sungguh celaka! Sungguh celaka! Sungguh celaka! Orang yang tidak memedulikan kedua orang tuanya saat keduanya telah tua renta, baik salah satu maupun keduanya. Hal itu bisa menyebabkannya tidak masuk bisa surga.” Rasulullah juga bersabda, “Maukah kalian aku beri tahu tentang dosa yang paling besar di antara dosa-dosa besar?” Rasulullah menanyakan ini sampai tiga kali. Para sahabat pun menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Menyekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.” (hal. 113)

Kedua penulis lalu menyimpulkan beberapa poin penting mengenai sikap seorang anak kepada kedua orang tua:
  1. Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak boleh membunuh orang tua akibat membunuh anaknya.
  2. Wajib menjaga hubungan baik dengan kedua orang tua dan wajib memberi nafkah kepada keduanya jika keduanya fakir, bahkan meskipun keduanya kafir.
  3. Disarankan tetap menaati keduanya meski keduanya memerintahkan untuk meninggalkan sesuatu yang disunnahkan, misalnya jika keduanya meminta sang anak untuk tidak pergi berperang maka sang anak sebaiknya mengikuti perintah tersebut.
  4. Menurut mayoritas ulama, sang anak sebaiknya memenuhi panggilan orang tua jika ia dipanggil dalam keadaan tengah melaksanakan shalat, jika shalat itu memang bisa diulangi lagi.
  5. Orang tua boleh mengambil harta anaknya tanpa izin anaknya dan ia tidak wajib mengembalikan harta tersebut. Demikian menurut sebagian ulama.
  6. Jika seorang anak berprofesi sebagai algojo maka ia tidak boleh melakukan eksekusi atas orang tuanya.
  7. Dimakruhkan hukumnya (tidak dianjurkan) seorang anak muslim menampakkan diri di hadapan orang tua yang berada di barisan perang kaum kafir.
  8. Tidak boleh menikahi mantan istri ayah atau mantan suami ibu, baik ketika ayah atau ibu masih hidup maupun ayah atau ibu sudah meninggal. Hal itu untuk menghormati kedua orang tua.

Adapun penegakan amar makruf nahi mungkar terhadap kedua orang tua tidak boleh dibarengi dengan membentak atau melarang. Hal itu karena Allah memerintahkan bahwa kedua orang tua harus diperlakukan dengan sebaik-baiknya. Selain itu, teladan yang telah diperlihatkan Nabi Ibrahim sebagaimana disebutkan dalam surah Maryam juga wajib diikuti.

Kedua penulis menutup bab ini dengan mengungkapkan bahwa Islam melarang penegakan amar makruf nahi mungkar yang justru menyakiti orang tua, baik secara langsung maupun tidak langsung. Rasulullah sendiri pernah bersabda, “Di antara dosa paling besar di antara dosa-dosa besar adalah seorang laki-laki yang mencela orang tuanya.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang mencela orang tuanya?” Beliau menjawab, “Ya, jika ada seseorang mencela ayah temannya maka temannya itu membalas dengan mencela ayahnya; jika ada seseorang mencela ibu temannya maka temannya itu membalas dengan mencela ibunya.” (hal. 117)

Senin, 13 Mei 2013

Tanpa Kelembutan, Tidak Akan Mendapat Kebaikan




Kedua penulis mengingatkan bahwa salah satu pijakan penting bagi penegak amar makruf nahi mungkar adalah nasihat Ibnu Taimiyah, “Harus dibarengi ilmu yang cukup, rasa kelembutan, dan kesabaran.” Karena amar makruf nahi mungkar bukanlah tujuan, melainkan cara untuk mewujudkan masyarakat yang tertata baik. (hal. 97)
                                   
Rasulullah Saw merupakan teladan terbaik dalam amar makruf nahi mungkar. Al-Quran menyebutkan sifat Rasulullah dalam salah satu ayat-Nya, “Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu....” (QS. Ali Imran [3]: 159).

Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah Swt Mahalembut dan menyukai kelembutan. Dia memberikan kepada kelembutan sesuatu yang tidak Dia berikan kepada kekerasan atau yang lainnya.”  Aisyah juga meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Jika kelembutan ada pada seseorang maka kelembutan itu pasti makin menghiasinya dan jika kelembutan itu tidak ada pada seseorang maka tentu saja ia terlihat buruk.” Dalam Hadis lain, “Orang yang tidak memiliki kelembutan maka tidak akan memiliki kebaikan.” Menafsirkan Hadis ini, kedua penulis mengatakan bahwa kebaikan yang tidak akan dimiliki itu adalah kebaikan di dunia dan akhirat. Tanpa kebaikan di dunia maka ia akan dijauhi manusia dan tanpa kebaikan di akhirat maka ia tidak akan mendapat ridha dan anugerah Allah Swt. (hal. 99)

Untuk memperkuat hal di atas, kedua penulis menyebutkan beberapa ayat Al-Quran. Allah berfirman, “Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, ‘Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sungguh, setan itu (selalu) menimbulkan perselisihan di antara mereka...’” (QS. Al-Isra` [17]: 53). Dalam ayat lain Allah berfirman, “Dan mereka diberi petunjuk kepada ucapan-ucapan yang baik dan diberi petunjuk (pula) kepada jalan (Allah) yang terpuji” (QS. Al-Hajj [22]: 24).

Ada banyak Hadis yang juga mencontohkan kelembutan yang sudah diperlihatkan langsung oleh Rasulullah Saw. Suatu ketika ada seorang pemuda mendatangi Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, izinkan aku untuk berzina.” Para sahabat yang mendengar pun langsung berteriak mencelanya. Namun, Rasulullah dengan lembut meminta para sahabat untuk tenang. Beliau kemudian meminta pemuda itu mendekati beliau. Beliau lalu bertanya, “Apakah kamu mau perzinaan itu dilakukan atas ibumu?” Sang pemuda menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah! Semoga Allah menjaganya.” Rasulullah menimpali, “Begitu pula orang lain, mereka tidak ingin ibu mereka berzina dengan orang lain. Lalu apakah kamu mau perzinaan itu dilakukan atas anak perempuanmu?” Sang pemuda menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah! Semoga Allah menjaganya.” Rasulullah menimpali, “Begitu pula orang lain, mereka tidak ingin anak perempuan mereka berzina dengan orang lain.” (hal. 101)

Dalam Hadis lain diterangkan pula ada seorang badui (pedalaman) yang membuang air kecil di dalam masjid. Tentu saja hal itu membuat para sahabat geram dan hendak menghardik si badui. Namun, Rasulullah justru meminta para sahabat membiarkan si badui itu. Beliau bersabda, “Biarkanlah... cukup kalian segera siram saja air kecilnya dengan air. Sesungguhnya kalian diperintah untuk mempermudah, bukan mempersulit.”

Kedua penulis lalu menekankan arti penting kelembutan dalam penegakan amar makruf nahi mungkar. Selain kelembutan, Al-Quran juga menekankan kesabaran, sebagaimana diterangkan dalam firman-Nya, “Wahai anakku! Laksanakanlah salat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting” (QS. Luqman [31]: 17).

Kesabaran merupakan teman karib kelembutan. Karena jika amar makruf nahi mungkar dilakukan tanpa kesabaran dan kelembutan maka yang terjadi bukan lagi amar makruf nahi mungkar, melainkan pertengkaran atau malah perkelahian. Kedua penulis lalu mengutip beberapa pernyataan Imam Al-Ghazali, di antaranya, “Orang yang melakukan kemungkaran harus diberi tahu tentang haramnya kemungkaran itu secara lembut. Karena kemungkaran lahir akibat kebodohan, sedangkan kebodohan hakikatnya merupakan sesuatu yang menyakitkan. Jika seseorang sudah bodoh (sakit), lalu disakiti lagi dengan tindak kekerasan maka tentu tidak akan menyelesaikan masalah.” Dalam Hadis lain ditegaskan, “Jika pemberitahuan tentang kemungkaran itu justru menimbulkan sakit hati atau membuka aib seseorang maka beri tahulah secara lembut agar ia mau mendengar. Dengan begitu, tidak ada yang tersakiti. Menyakiti orang lain merupakan sesuatu yang harus dijauhi. Tentu tidak bisa dinalar membersihkan darah dengan darah atau dengan air kecil.”

Imam Al-Ghazali juga mengungkap potensi mudharat yang lain dalam melakukan amar makruf nahi mungkar tanpa dibarengi kelembutan dan kesabarab, yaitu potensi takabur dan menjerumuskan orang lain dalam kebodohan. Dalam Hadis disebutkan, “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya masih ada setitik saja sifat takabur.”

Selasa, 09 April 2013

Aplikasi Amar Makruf



Melakukan amar makruf merupakan suatu tindakan mulia yang sangat dianjurkan agar orang lain mendapatkan kebaikan. Jika setiap individu sudah menjalankan semua tindakan makruf, maka masyarakat pun akan menikmati kesejahteraan dalam arti seluas-luasnya. Dan apabila setiap anggota masyarakat menjalankan tugas sesuai dengan fungsinya, maka akan tercipta keharmonisan dalam komunitas itu. Untuk menjaga agar keharmonisan ini ietap langgeng, maka setiap individu hams menjalankan amar makruf dan nahi munkar dalam bingkai iman yang kokoh.
Dalam menjalankan amar makruf tak ada jalan lain kecuali harus dimulai dari diri sendiri. Sebuah perintah tak akan berkesan kalau yang memerintahkan ser.diri tak melakukannya. Allah swt. sangat mencela orang-orang yang melakukan amar makruf, tetapi dia sendiri tak melakukan apa yang diperintahkannya itu. Perhatikan firman Allah dalarm Surah al-Baqarah [2]: 44:
"Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahalkamu membaca Kitab (Taurat)? Tidakkah kamu mengerti?"
Ayat lain yang berkorelasi dengan ayat ini terdapat pada Surah ash-Shaff [61]: 3 sebagai berikut:
"Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan."
Sinyalemen ayat-ayat ini menegaskan bahwa ada orang dalam masyarakat yang aktif menjadi penganjur kebaikan tetapi dia sendiri tak melakukan apa yang dianjurkannya itu. Orang seperti ini dibenci oleh Allah dan sebenarnya dipertanyakan kewarasannya karena tidak memfungsikan akal yang dikaruniakan Allah padanya. Dengan demikian, aktivitas amar makruf mensyaratkan makruf itu harus terlebih dahulu dijalankan oleh penganjurnya.
Orang bijak sering mencontohkan bahwa dalam melakukan amar makruf dan juga nahi munkar ibarat batu yang terjatuh ke dalam air ia memberi efek gelombang meluas dari lapisan terdekatnya baru meluas sampai ke wilayah (ring) terluar. Seorang kepaia keluarga memulai melaksanakan hal-hal makruf dalam kehidupan sehari-hari, lalu memerintahkan kepada keluarganya serumah baru orang-orang sekitarnya dan kemudian masyarakat luas.
Setiap orang yang menjalankan amar makruf harus dengan cara-cara yang santun, lemah lembut, tidak berlebihan, dan tid?k menyakiti hati orang lain. Abul Abbas dalam kitabnya al-Mishbah al-Munir fx Gharib asy-Syarh al-Kabh menulis sebagai berikut:
"Siapa yang melakukan an.ar makruf maka hendaklnh melakukannya dengan makruf pula, yaitu dengan lemah lembut dan sekedar yang diperlukan (tidak berlebih-lebihan). "[1]
Menurut 'Athiyah ibn Muhammad Salim dalam Syarh al-Arba'ln an-Nawaiviyah bahwa amar makruf harus dilakukan dengan makruf pula, tidak dengan cara kekerasan, demikian juga nahi munkar harus dengan cara cara yang baik.[2] Terdapat beberapa ayat yang menjelaskan pentingnya melakukan amar makruf dengan cara-cara yang baik, persuasif, sar.tun, tidak dengan kekasaran dan kekerasan. Ayat-ayat itu antara lain terdapat pada Surah an-Nahl ([16]: 125)^suf [12]: 108; Ali 'Imran [3]: 159. JSurah an-Nahl [16]: 125 dengan lugas menyebutkan:
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk. "
Aktivitas amar makruf dan juga nahi munkar harus terus dibudayakan dalam kehidupan sosial. Harus selalu ada orang yang mengingatkan dengan cara menganjurkan kepada kebaikan dan mencegah dari perbuatan buruk agar semua anggota masyarakat hidup tenteram, sejahtera, dan bahagia lahir batin. Jika semua orang dalam komunitas masyarakat bersikap tidak mau tahu, individualistik, mengabaikan kewajiban sosial, maka masyarakat itu menjadi sakit (patologi sosial). Untuk mencegah patologi sosial, maka aktivitas amar makruf nahi munkar harus terus berjalan.