Tampilkan postingan dengan label amar makruf. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label amar makruf. Tampilkan semua postingan

Selasa, 07 Mei 2013

Larangan Kemudharatan dan Memudharatkan


Kedua penulis menyebutkan bahwa penegakan amar makruf nahi mungkar yang menyebabkan rasa sakit terhadap orang lain atau bertentangan dengan hukum syariat yang lain tidak diperbolehkan. Karena itu, kedua penulis menerangkan arti penting Hadis lā dharara wa lā dhirāra (tidak boleh ada kemudharatan dan memudharatkan) dalam pelaksanaan amar makruf nahi mungkar. Memang kemungkaran harus diberantas, tetapi jangan sampai pemberantasannya justru mendatangkan kemudharatan dan kemungkaran yang lain.
                           
Dalam akhir bab ini, penulis mengutip pernyataan Imam Al-Ghazali, “Jika pelaksanaan amar makruf nahi mungkar itu justru menyakiti kerabat atau tetangganya maka sebaiknya tinggalkanlah penegakan amar makruf nahi mungkar. Karena menyakiti orang lain merupakan sesuatu yang dilarang dan harus dihindari.” Jika menyakiti kerabat dan tetangga yang merupakan orang-orang dekat saja dilarang, tentu menyakiti orang lain yang tidak ada hubungan apa pun harus lebih dihindari.

Rabu, 01 Mei 2013

Definisi Ikhlas





Al-Qusyairi menyebutkan bahwa pengertian ikhlas adalah menghindarkan ketaatan dari tujuan tertentu. Artinya, ketaatan itu dilakukan hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ketaatan itu dilakukan tidak untuk sesuatu yang lain, semisal agar dilihat orang lain, agar dipuji orang lain, atau tujuan lain yang bersifat keduniaan.
                          
Adapun Ar-Raqaq mengungkapkan definisi ikhlas sebagai perbuatan yang dilakukan tanpa menghiraukan perhatian orang lain, jujur, dan bahkan diri sendiri pun mengacuhkan perbuatan yang sudah dilakukan itu.

Kedua penulis lalu menjelaskan tiga tanda keikhlasan sebagaimana pernah diungkap Dzun Nun, yaitu (1) pujian atau cacian dari manusia dianggap sama; (2) langsung melupakan apa yang sudah dilakukan; dan (3) menunggu balasan perbuatan hanya di akhirat.

Imam Syafi’i pernah mengatakan, “Saya berharap kalian semua mempelajari ilmu ikhlas ini dengan sebenar-benarnya, jangan sampai tertinggal barang satu huruf pun!” Imam Syafi’i juga menambahkan, “Setiap kali berbicara dengan seseorang, saya selalu mendoakan ia dapat mengamalkan ilmu ikhlas. Saya juga berharap ia mendapat lindungan Allah Swt.” Dalam hal ini, Imam Syafi’i telah memberikan teladan keikhlasan. Imam Syafi’i ingin orang lain belajar darinya dan ia tak mengharapkan balasan apa pun, termasuk misalnya ilmu yang didapat orang lain darinya tidak disandarkan kepadanya, ia pun tetap tidak mempermasalahkan. Imam Syafi’i hanya mengharapkan balasan dari Allah Swt.

Sementara itu, ria (budaya pamer) merupakan kebalikan dari ikhlas. Ria yaitu beramal demi dilihat oleh manusia. Rasulullah Saw sendiri pernah mengingatkan bahaya ria dalam sabda beliau, “Hal yang paling aku khawatirkan dari umatku adalah ria dan hawa nafsu tersembunyi.”

Kedua penulis lalu mengungkapkan bahwa pelaku amar makruf nahi mungkar harus mengedepankan sifat rendah hati, penyayang, dan penyabar. Hanya saja, sayangnya masih cukup sering terjadi adanya pelaku amar makruf nahi mungkar yang justru lebih mendahulukan kekuatan dan kekerasan. Celakanya hal itu dilakukan tanpa ilmu dan pengetahuan yang mencukupi.