Perlakuan terhadap Warga Sipil dalam
Perang
Di dalam magnum opusnya,
al-Muqaddimah, Ibnu Khaldun menyebutkan bahwa sejarah perang dan segala bentuk
perseteruan antarmanusia, sebenarnya seumur dengan sejarah dunia. Perseteruan
dan konflik terjadi semenjak Tuhan menciptakan dunia yang akan terus terjadi
selama manusia masih maujud di pentas dunia.[1]
Al-Quran sendiri menyatakan bahwa peperangan adalah suatu hal yang sulit
dihindari sama sekali, sehingga bila tujuannya legal (syar’i), yaitu untuk
mengantisipasi serangan musuh,[2]
perang diizinkan bahkan diwajibkan meskipun terasa berat dan menyakitkan,
sesuai firman Allah swt:
“Diwajibkan atas kamu
berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci”.(QS. Al-Baqoroh [2]: 216)
Sebagaimana
agama yang membumi dan kompatibel dengan
perkembangan dan pelajuan zaman, serta sesuai dengan hidup dan kehidupan
manusia termasuk dalam menyikapi “ keniscayaan” perang dan konflik dalam
kehidupan maka tak aneh bila islam
menyuguhkan sejumlah basis etika untuk “memanusiakan” peperangan.
Hubungan Agama dan
Negara
Adalah jelas kiranya bahwa Islam memandang pihak
non-Muslim tidak dari sudut pandang kebencian, fanatisme dan arogansi. Tetapi,
sikap islam dalam non-Muslim manapun yang tidak memusuhi islam dilandasi oleh
sikap toleran, kooperatif, persaudaraan atas nama kemanusiaan, dan penghormatan
atas nama kemanusiaan, dan penghormatan terhadap setiap perjanjian dan
kesepakatan. Dua ayat al-Quran (QS. Al-Mumtahanah [60]:8 dan 9) berikut ini dapat
menggambarkan pandangan Islam tentang dasar hubungan Muslim dan non-Muslim,
baik perseorangan atau antar kelompok /Negara:
“Allah tidak melarang
kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negrimu. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan
sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu
dari negrimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa
menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”.
Dua
ayat di atas menginformasikan kepada kita tentang prinsip islam menyangkut hubungan antaranegara, suatu prinsip yang
sangat menekankan perdamaian dan kasih saying antarsesama ketimbang perang dan
permusuhan. Bahkan, kepada mereka yang memusuhi islam, agama damai ini tidak
lantas membolehkan bentuk pembalasan yang melampaui batas, karena penghormatan
islam yang tinggi terhadap kesatuan asal manusia yang seharusnya selalu dihiasi
oleh kedamaian dan kasih saying antarmereka. Disinilah kita mengerti mengapa
sebelum dua ayat yang dikutip di atas, Allah menyinggung tentang pentingnya
kasih saying antarmanusia:
“Mudah-mudahan Allah
menimbulkan kasih saying antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara
mereka. Dan Allah adalah Maha Kuasa. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”.(QS. Al-Mumtahanah[60]:7)
Dapat
dikatakan secara singkat bahwa prinsip hubungan antarnegara dalam pandangan
islam sebenarnya dalam pandangan islam sebenarnya berdiri di atas landasan
qur’ani yang kokoh, yaitu egalitarianism dan humanism islam (QS. An-Nisa
[4]:1;ar-Rum [30]:22,perdamaian dan koeksistensi (QS. Al-Hujurat [49]:13, kerja
sama untuk mewujudkan kemaslahatan (QS. Al-Maidah [5]:2), legalitas perang
untuk membela kebenaran dan menjaga perdamaian (QS. Al-Anfal [8]:61, keadilan
terhadap siapa pun tanpa melihat golongan, suku, bangsa atau agama (QS.
Al-Baqoroh [2]:194;al-Maidah [5]:8;al-An’am [6]: 152, al-Mumtahanah[60]:8),dan
penghormatan terhadap setiap perjanjian dan kesepakatan (Qs. Al-Anfal[8]:72;
an-Nahl [16]:91-92).[3]
Perlindungan Warga Sipil dan
Fasilitas Sipil Meskipun islam dalam situasi-situasi
yang telah disinggung di atas mengizinkan, bahkan mewajibkan perang, namun
agama salam nan rahmah ini tidak membiarkan peperangan yang dilegalkan itu
tanpa batasan dan etika. Bahkan, dalam hal ini islam mendahului hukum perang
positif yang dikenal dengan Hukum Humaniter Internasional (HHI) sebagaimana
termaktub dalam Konvensasi Jenewa 1864 yang mengalami penyempurnaan melalui 4
konvensi Jenewa 1949 berkenaan dengan perlindungan korban perang, dan kemudian
dilengkapi dengan protocol tambahan I dan II tahun 1977 tentang perlindungan
korban perang pada situasi sengketa bersenjata internasional dan
non-internasional.[4]
Menyangkut
kedudukan warga sipil dan non-kombatan dalam HHI dikenal adanya prinsip
pembedaan (principle of distintion). Melalui prinsip ini, semua pehak yang
terlibat dalam sengketa bersenjata harus membedakan antara peserta tempur
(tentara/kombatan) dengan orang sipil. Tujuannya adalah untuk melindungi orang
sipil, sehingga yang menjadi sasaran serangan dalam pertempuran hanyalah
sasaran militer dan objek militer.[5]
Prinsip
pembedaan antara kombatan, non-kombatan, dan warga sipil dalam HHI ini
sebenarnya bukanlah hal yang sama sekali asing dalam islam, jika tidak
dikatakan bahwa islam mendahului HHI dalam hal ini. Prinsip pembedaan kombatan
dan warga sipil ini sebenarnya telah termaktub dalam al-Quran lebih dari 10
abad sebelum adanya formulasi HHI yang baru muncul pada tahun 1864, yakni
firman Allah swt:
“Dan perangilah di
jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui
batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas”.(QS.
Al-Baqoroh [2]: 190)
Dalam
tafsir al-Qurthubi, sahabat Ibnu Abbas ra, Umar bin Abdul Aziz dan Mujahid
menafsirkan ayat di atas sebagai berikut:
“Perangilah orang yang
dalam keadaan sedang memerangimu, dan jangan melampaui batas sehingga
terbunuhnya perempuan, anak-anak , tokoh agama dan semisalnya.”[6]
Atas
dasar inilah, seyogyanya segala bentuk pertempuran hanya terjadi di kalangan,
dan dibatasi untuk, kombatan (tentara)yang memang bertugas untuk berperang.
Adapun waarga sipil [7]dan
non-kombatan[8]
serta objek-objek dan fasilitas sipil, kesemuanya harus dilindungi dan ekses
destruktif yang ditimbulkan dari suatu peperangan atau konflik bersenjata.[9]
Prinsip pembedaan inilah yang kemudian diimplementasikan oleh nabi yang
melarang membunuh warga sipil yang tidak ikut andil dalam suatu peperangan.
Beberapa teks Hadis dan Atsar yang memerinci warga sipil dan non-kombatan yang
harus dilindungi dari segala bentuk ekses operasi militer, serangan membabi
buta, pembalasan dendam dan tidak dijadikan objek serangan atau dijadikan
sebagai perisai dari serangan militer, antara lain:[10]
1. Para
Wanita dan Anak-Anak
Abdullah bin Umar melaporkan, “Selama bebrapa
peperangan Rasullullah saw.,seorang wanita ditemukan terbunuh, maka Rasullullah
saw. melarang pembunuhan wanita dan anak-anak.” (HR.al-Bukhari). Dalam Hadis
lain dilaporkan bahwa, “Seorang wanita ditemukan terbunuh. Rasullullah tidak
menyetujui pembunuhan wanita dan anak-anak.” (HR. al-Bukhari dan Muslim. Hadis
dengan arti yang sama diriwayatkan juga oleh Malik dan Majah)
2.
Para
‘Asif (Pelayan Sewaan)
Rabah bin Rabi’ melaporkan, “ketika
kami bersama Nabi dalam ekspedisinya, beliau melihat beberapa orang berkumpul
dan mengirim seseorang dan berkata, ‘Lihatlah apa yang dikerumunkan orang-orang
tersebut!’ Orang suruhan itu lalu dating dan berkata, ‘Beliau bersabda,’Dia
(wanita) itu tidak berpegang [bagaimana mungkin sampai terbunuh]?’ (saat itu)
Khalid bin Walid berada di barisan terdep[an; Nabi saw. pun mengutus seseorang
untuk menyampaikan pesan, ‘Katakan pada Khalid untuk tidak membunuh wanita dan
pelayan sewaan (‘asif)!.” (HR. Abu Dawud dan Ibn Majah)
‘asif di sini berarti kategori orang
yang tidak ikut berperang tetapi ada dalam medan perang untuk mengerjakan
tugas-tugas perawatan (paramedis) dan personel keagamaan militer. Dalam istilah
Hukum Humaniter Internasional, ‘asif ini dapat dimasukkan sebagai tentara bukan
pejuang atau non-kombatan.
3. Para
Orang Tua Manula in Malik melaporkan bahwa Nabi saw. bersabda:
“Pergilah
atas nama Allah, percaya pada Allah dan tetap pada agama Rasul-Nya. Jangan membunuh
orang-orang tua jompo,atau bayi, atau anak-anak, atau wanita; janganlah curang
dalam harta rampasan, berlakulah dengan benar dan adil, Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang adil.”(HR.Abu Dawud)
Malik juga melaporkan dalam
al-Muwaththa’ bahwa Umar bin Abdul Aziz, khalifah Umayyah kedelapan (717-120 M)
pernah menginstruksikan kepada salah satu gubernurnya:
“Telah
diwsiatkan kepada kita ketika Nabi saw. mengirimkan pasukan razia, beliau
berkata,’Rampaslah harta mereka atas nama Allah , di Jalan Allah. Jangan memutilasi mayat dan jangan membunuh
anak-anak.’ Katakan hal yang sama kepada pasukanmu, Insya Allah kesejahteraan
meliputi kamu.”
(HR. Malik)
Para
Agamawan dan Rohaniawan Yahya bin Sa’id melaporkan bahwa,
“Abu Bakar ra. Menasihati Yazid bin Muawiyah, ‘Kamu akan menemukan
sekelompok orang yang mengaku telah
mengabdikan diri sepenuhnya kepada Allah. Biarkanlah mereka atas apa yang
diakuinya(Biarawan Kristen)…Aku menasihatimu sepuluh hal:Jangan membunuh para wanita
atau anak-anak atau orang tua yang lemah. Jangan menebang pohon yang
mengahsilkan buah, jangan membantai kambing atau unta kecuali untuk makanan.
Jangan membakar tumah dam morak-morandakannya. Jangan mencuri barang rampasan
perang, dan jangan bersikap pengecut’.” (HR. Malik)
Tawanan
Perang Dalam memperlakukan tawanan perang
yang tidak dalam posisinya lagi untuk melawan , islam memerintahkan Muslim
untuk memperlakukan mereka secara baik sesuai firman Allah swt:
“Apabila
kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di Medan perang) maka pancunglah batang
leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mebngalahkan mereka, maka tawanlah
mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan
sampai perang berakhir.”[11]
“Dan
mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miski, anak yatim dan
orang yang ditawan.”[12]
Dalam
praktiknya Rasullullah saw. mengimplementasikan perintah al-Quran terhadap
tawanan perang dengan baik dan sering kali membebaskan mereka seperti dalam
kasus Perang Hunain. Beberapa tawanan perang Badar ditebus, dan beberapa yang lain diminta untuk
mengajari anak-anak Muslim sebagai komensasi kebebasan mereka. Bahkan saw.
bersikap sangat lembut dan penuh keluhuran budi kepada pihak musuh yang telah
ditakhlukan walaupun beliau dulu pernah disakiti dan beberapa sahabat beliau
dianiaya dan dibunuh mereka. Pada peristiwa Fath Makkah, beliau berkata ke[pada
orang-orang kafir Quraisy yang telah ditaklukkan, “ pergilah,kalian sudah
bebas”(HR. al-Baihaqi)
Beberapa
contoh teks keagamaan dalam islam tentang perlindungan warga sipil dan non-kombatan serta fasilitas-fasilitas
sipil dalam perang, memang tidak mencangkup semua spectrum warga sipil dan
non-kombatan dalam konteks sekarang. Kendati demikian, adanya spirit islam
mengenai batasan-batasan dalam sasaran perang berdasarkan asas perbedaan antara
sipil dan kombatan, kemudian memerhatikan bahwa hukum islam mengakui ‘urf
(kebiasaan) dan norma antarabangsa
sebagai sumber hukum sekunder (seperti bunyi kaedah fikih al-‘adah
muhkamah, ats-tsabit bi al-‘urfi ka ats-tsabit bi asy-syay’), serta pentingnya
konteks dalam perumusan hukum sesuai dengan tempat dan waktu (la yunkaru
taghayyuru fatwa wa ijtihad wa hukm bi
taghayyuri az-zaman wa al-makan), maka konsep warga sipil dan non-kombatan di
bawah kesepakatan Hukum Humaniter Intenasional yang telah diratifikasi oleh
hampir seluruh negara dewasa ini, jika tidak bertentangan dengan islam, dapat
dijadikan acuan teknis untuk pengertian warga sipil dan non-kombatan bagi umat
Muslim dalam melaksanakan perang pada masa sekarang.[13]
[1]
Dalam al-Muqaddimah h.145, Ibnu Khaldun menulis:
[2]
Lihat antara lain: QS. Al-Hajj[22]: 39 dan QS. Al-Baqoroh [2]: 190.
[3]
Penjelasan lebih rinci, lihat: Muhammad ad-Dasuqi, Ushul al-“Alaqat
ad-Dawliyyah baina al-Islam wa at-Tasyri’at al-Wadh’iyyah, dalam M>H>
Zaqzouq (Ed), Al-Tasamuh fi al-Hadharah al-Islamiyyah, (Cairo: al-Majlis
al-A’la li al-Syu’un al-Islamiyyah, 2004), h. 599-603.
[4]
Rina Rusman,Sejarah, Sumber, dan Prinsip Hukum Humaniter Internasional,
kumpulan makalah Kursus HHI untuk Dosen PTN dan PTS hasil kerja sama Fakultas
Hukum Undip dan International Committee of the Red Cross (ICRC), Semarang 11-16
Desember 2007.
[5]
Ibid
[6]
Al-Qurthubi,al-Jami’ li Ahkam al-Quran, Maktabah Syamilah versi 2, 1/519.
Bandingkan , Ibnu ‘Athiyyah, al-Muharrir al-Wajiz,1/209.
[7]
Dalam HHI,warga sipil adalah:1) orang tidak berperan aktif dalam peperangan dan
tidak melakukan pekerjaan militer; dan 2) seseorang yang tidak memihak dengan
menjadi anggota angkatan bersenjata, militan, korps sukarela, membentuk
kelompok sejenis angkatan bersenjata dan gerakan perlawanan (lihat:pasal 3,
konvensi Jenewa, 1949 dan pasal 15 (b) Konvensi Jenewa IV,1949).
[8]
Istilah bukan- pejuang atau non-kombatan menunjuk kepada anggota angkatan bersenjata
yang tidak pernah terlibat dalam pertempuran seperti menjadi personel medis,
dan personel keagamaan militer atau tidak lagi mengambil peran dalam
pertempuran (hors the combat)seperti tawanan perang, orang yang terluka dan
korban dari kapal rusak (lihat pasal 4, pasal 1 dan pasal 8 (c ), protocol
tambahan I/1977; pasal 9 Protokol Tambahan II/1977;dan pasal 24 dan 41 konvensi
JenewaI/1949).
[9]
Masri E.Bidin, Perlindungan Warga Sipil dan Tawanan dalam Perspektif HHI dan
Syari’ah islam kumpulan kursus makalah HHI kerja sama Fak. Hukum UNDIP dan
International Committee of the Red Cros (ICRC).
[10]
Lihat : M. H. Hassan, Teroris Membajak Islam, (Jakarta:Grafindo Khazanah Ilmu
2007), h.185 dan seterusnya.
[11]
QS.Muhammad [47]:4.
[12]
QS.al-Insan [76]:8.
[13]
Lihat:M.H.Hassan, Teroris Membajak Islam, h. 193-196.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar