Aksi-aksi terorisme yang terjadi di beberapa wilayah
Indonesiatidak hanya menimbulkan korban
jiwa dan kerusakan sarana fisik, tetapi juga rusaknya citra bangsa dan umat
Islam Indonesia. Mereka yang tidak menyukai Islam semakin kerasmeyuarakan kebencian dan stigmatisasi bahwa
Islam adalah agama teroris. Lebih dari itu, mereka yang tidak memahami Islam di
Indonesia dengan mudah menuduh lembaga-lembaga pendidikan Islam, khususnya
pesantren dan madrasahsebagai sarang
teroris.
Para pengamat barat
menuding bahwa aksi-aksi terorisme di Indonesia digerakan oleh jaringan
terorisme al-Qaeda dan Jamaah Islamiyah (JI) yang basisnya berada di pesantren
tertentu di Indonesia. Beberapa pelaku yang terbukti terlibat baik langsung
maupun tidak langsung dalam aksi-aksi terorisme memang pernah belajar di
pesantren tertentu. Dengan dalih itulah, muncul kesimpulan yang biasa, bahwa pesantren
adalah sarang teroris. Pernyataan bahwa pesantren adalah sarang teroris jelas menunjukan
kurangnya pemahaman tentang Islam Indonesia dan lebih jauh lagi meluka perasaan
seluruh umat Islam terutama kalangan pesantren.
Kekeliruan
anggapan tersebut dapat dibuktikan dengan beberapa argument. Pertama, secara kelembagaan pesantren
merupakan lembaga pendidikan agama yang berada di bawah pengawasan dan
pembinaan Departemen Agama. Pesantren dikelola oleh lembaga-lembaga keagamaan
yang selama ini sangat mendukung tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) seperti Muhammadiyah, Nahdatul Ulama (NU) dan Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia (DDII), Persis, PUI, dan lain-lain.
Kedua, Kurikulum dan kitab-kitab yang diajarkan di pesantren
berisi materi keagamaan yang menekankan ketaatan beribadah, muamalah dan akhlak
alkarimah. Di dalam pesantren memang diajarkan tentang jihad sebagai bagian
dari kajian kitab-kitab Fiqh.
Pengajaran materi jihad tiada lain karena jihad merupakan bagian tak
terpisahkan dari ajaran Islam. Pembelajaran tentang jihad, senantiasa
disandingkan dengan konsep lain yang mempunyai keterkaitan dengannya, yaitu
ijtihad dan mujahadah. Jadi, jihadyang
dimaksudkan adalah bagaimana seorang santri secara sungguh-sungguh mau berjuang
di jalan Allah agar menemukan kebenaran dan kebahagiaan.
Ketiga, adanya beberapa pelaku teroris
yang pernah belajar di pesantren tidak berarti pesantren mengajarkan terorisme.
Tidak sedikit founding fathers (
pendiri negara) Indonesia adalah alumni pesantren. Mereka adalah mutjahid (pemikir) dan mujahid (pejuang) yang ditempa dalam
pendidikan pesantren. Dengan logika sederhana, misalnya, ketika ada seorang
penjahat alumni sekolah atau universitas , tidak berarti lembaga pendidikan
tersebut mendidik siswa atau mahasiswanya menjadi penjahat.
Karena
itu, adanya beberapa alumni pesantren yang terlibat dalam aksi terorisme tidak
berarti sama sekali bahwa pesantren adalah sarangteroris. Penelitian membuktikan bahwa para
pelaku teroris justru belajar merakit bom dan menjadi ekstrimis setelah mereka
tidak lagi belajar di pesantren. Mereka menjadi teroris karena berbagai macam
pengalaman hidup, Ketidakadilan hukum, kemiskinan dan tekanan politik. Faktor
psikologis, sosiologis, ekonomi dan politikinilah yang sering kali tidak atau kurang disinggung sebagai sebab
tindakan terorisme.
Maka,
untuk memburu teroris dan memberantas terorisme di zaman seperti ini,
penyelesaian masalah secara kompherensif haruslah dilakukan secara arif,
teliti, dan cerdas. Stigmanisasi terhadap umat islam pasca peristiwa 11
September 2001 yang menjadikannya sebagai tertuduh, bagi sebagian umat Islam
yang lain tentu semakin membangkitkan gejala perlawanan terhadap semua tindakan
dan kaki tangan barat. Begitu juga dengan gejala terorisme Negara yang
ditunjukan oleh Amerika dan Israel terhadap bangsa Palestina, Libanon, Irak,
dan Afghanistan tentu semakin mengobarkan api peperangan bagi mereka yang sudah
mempunyai potensi melawan barat. Oleh karenanya, pemberantasan teror hendaknya
dilakukan dengan metode yang bersifat komprehensif, edukatif, dan jauh dari
diskrriminasi dan kekerasan. Jangan sampai pesantren menjadi korban dari
tindakan yang kurang memahami akar masalah terorisme.
-----
Dari uraian di atas dapat disimpulkan: Pertama, jihad tidak selamanya berarti
perang, karena di dalam Islam jihad dapat berbentuk haji mabrur, keberanian
menyampaikan kebenaranterhadap penguasa
yang zalim, berbakti kepada kedua orang tua, menuntut ilmu dan mengembangkan
pendidikan, dan kepedulian, sosial. Kedua,
obyek jihad adalah orang kafir yang memusuhi Islam, orang munafiq, hawa nafsu,
kezaliman, kemunkaran, kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan. Ketiga, jihad adalah salah satu azas
iman,amal utama dan puncak amaliah tertinggi. Keempat, termasuk jihad adalah semua upaya sungguh-sungguh
memperbaiki dan kualitas kehidupan muslim baik kualitas iman maupun
kesejahteraan. Kelima, Indonesia
bukan wilayah dar al-harb melainkan
Negara damai dan Negara dalam perjanjian karena umat Islam memiliki kesempatan
dan kebebasan untuk menjalankan ajaran agamanya.
Kata
syahid dan bentuk jamaknya syuhada digunakan dalam sejumlah ayat al-Qur’an.
Diantaranya firman Allah yang menyatakan:
“Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad),
maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang diberi nikmat oleh
Allah, (yaitu) para nabi, para pecinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid
dan orang-orang saleh. Mereka itu teman yang sebaik-baiknya.”(Qs. An-Nisa [4]:69).
Menurut Tafsir
al- Fakhr ar-Razi, asy-syahid adalah orang yang memberi kesaksian akan kebenaran agama Allah, baik
dengan argument atau penjelasan, maupun dengan pedang dan tombak. Orang yang
terbunuh di jalan Allah disebut dengan syahid.
Sebab, orang tersebut mengorbankan jiwanya demi membela agama Allah dan jiwanya
demi membela agama Allah dan menjadi kesaksian baginya bahwa agama Allah itu
yang benar. Lain dari itu adalah batil( ar-Razi, 1995: jilid 5, h. 180). Dalam
ungkapan yang lain, penulis at- Tafsir
al-Wadhih menerangkan, bahwa syuhada adalah orang yang menyaksikan
kebenaran dengan alasan dan bukti serta berperang di jalan Allah dengan pedang
dan tombak hingga ia terbunuh (Hijazi, 1969: juz 5, h.32). Dalam pandangan
kedua musafir itu, senjata yangdigunakan menunjuk kepada peralatan perang yang masih bersahaja yang
digunakan pada masa al-Qur’an diturunkan.
Menurut penulis Tafsir Majma’ al-Bayan, syuhada adalah orang-orang terbunuh di
jalan Allah, bukan mati karena maksiat. Seorang muslim sangat dianjurkan untuk
mendapatkan predikat syahid tetapi tidak boleh mendambakan dibunuh orang kafir
sebab pebuatan itu adalah maksiat, yang terbunuh itu benar-benar ikhlas dalam
menegakan kebenaran karena Allah, mengakui dan mengajak kepada kebenaran. Oleh
karena itu Syuhada adalah predikat terpuji. Orang boleh mendambakan predikat
itu, tetapi orang tidak boleh mendambakan dibunuh oleh orang kafir,sebab
perbuatan itu adalah maksiat (ath-Thabari,1994: jilid 3, h. 121).
Penegasan yang hampir sama
dikemukakan oleh Imam ar-Razi. Ia mengatakan bahwa memohon kepada Allah agar
mati terbunuh di tangan orang kafir tidak dibolehkan. Permintaan semacam itu
adalah suatu bentuk kekafiran (Lihat ar-Razi, 1995: jilid 5, h. 180).
Berkaitan dengan itu, Rasulullah
SAW. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, menjelaskan :
Barang siapa
memohon kesyahidan kepada Allah dengan benar, Allah akan membuatnya sampai pada
derajat kesyahidan, meskipun ia mati di atas tempat tidurnya(an-Nawawi, 2005
:245)
Dalam hadis riwayat Imam Muslim yang
lainnya Rasulullah SA, mengatakan:
Barang siapa
mencari kesyahidan akan diberikan kepadanya, meskipun ia tidak gugur sebagai
syahid” (an-Nawawi, 2005:245).
Berdasarkan kedua hadis di atas, dapat
dipahami bahwa kesyahidan dapat diidam-idamkan, namun kesyahidan yang dimaksud
harus dengan jalan yang benar. Selain itu derajat kesyahidan dapat di peroleh
meskipun orang yang bersangkutan tidak mati terbunuh. Dengan kata lain, derajat
kesyahidan terletak pada nilai perbuatan seorang muslim yang telah turut serta
berperang di jalan Allah.
Menurut al- Jurjawi, Allah SWT,memberi keutamaan kepada orang yang berjihad
di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka. Allah berfirman: “ Mereka berperang di jalan Allah; sehingga
mereka membunuh atau terbunuh” (Qs. At-Taubah[9]: 111). Itu tidaklah
dimaksudkan bahwa mereka mesti mengalami kematian.
Namun, maksudnya adalah mereka
berperang baik mereka terbunuh atau tidak terbunuh. Jika mereka terbunuh, makahal itu adalah sesuatu yang jelas dan
dimaklumi. Akan tetapi, jika mereka tidak terbunuh, maka mereka akan tetap
memperoleh imbalan dan pahala. Mereka telah menantang bahaya dan menyiapkan
diri untuk mati tanpa memperdulikan urusan dunia dengan segala keindahan dan
perhiasannya. Mereka juga tidak memikirkan apa yang mereka tinggalkan seperti
keluarga,harta benda dan anak-anak (al-Jurjawi,1997: jilid 2, h. 221-222).
Syuhada
dikenal luas dalam sejarah Islam ketika terjadi perang Badar. Ketika itu tentara
muslim berperang melawan tentara kafir Quraisy dari kaum muslimin gugur
sebanyak 14 orang, sementara di pihak musyrikin gugur 70 orang. Tentara muslim
yang gugur dimakamkan dengan perlakuan khusus sebagai syuhada, misalnya dengan tidak dimandikan. Perang Badar dimenangkan
oleh pihak kaum muslimin. Kemenangan itu ditandai, antara lain, dengan
keberhasilan mereka menekan jumlah korban di antara anggota pasukannya dan
menghalau pasukan musuh.
Perang Badar terjadi pada tahun
kedua Hijrah. Nabi Muhammad SAW. Bersama para sahabatnya hijrah ke Madinah
untuk menghindari gangguan dan penderitaan yang ditimbulkan oleh kaum musyrikin
pada periode Mekkah selama kurang lebih 13 tahun. Ketika ancaman masih terjadi
pada periode Madinnah, maka perang antar kedua belah pihak tak dapat dielakan.
Fakta sejarah tersebut, sejalan dengan sabda Nabi Muhammad SAW. yang
menyatakan:
Janganlah kalian
mendambakan untuk bertemu dengan musuh, dan mintalah kepada Allah keadaan yang
sehat sejahtera, namun jika kamu bertemu dengan mereka, maka tegarlah.
Muttafaqun ‘alaih (an-Nawawi, 2005: 248).
Tentara muslim yang mengikuti
peperangan di jalanAllah terikat dengan
sejumlah ketentuan. Syarat-syarat utuk menjadi tentara, yakni: 1) Baligh, 2)
Islam, 3)Sehat jasmani dan rohani, dan
4) Keberanian (fisik yang tangguh, tahu tentang peperangan, terampil
menggunakan senjata, mampu menghadapi kesulitan dalam perjalanan, dan tidak
pengecut (Khattab, 1989: 56).
Hampir senada dengan penjelasan di
atas, ulama fiqih menyebutkan bahwa kewajiban untuk berjihad didasarkan atas
beberapa ketentuan, yakni: muslim, laki-laki, berakal, sehat, dan memiliki
bekal yang cukup baginya dan keluarganya hingga jihad selesai (Sabiq, 1983:
jilid 3, h. 32). Ulama fiqih merinci sejumlah ketentuan dalam perang yang
mencerminkan belas kasih (rahmah) yang terdapat dalam ajaran Islam. Dikatakan
bahwa kalaupun Islam membolehkan perang sebagai salah satu tuntutan darurat,
maka Islam memberinya batasan tertentu. Orang yang tidak terjun ke dalam kancah
peperangan tidak boleh dibunuh, orang sakit, orang tua jompo, rahib, al-ubbad
(ahli ibadah), dan al-ujara (pelayan). Islam juga mengharamkan al-mutslah
(penyiksaan), membunuh hewan, merusak tanaman, air, mencemari sumur dan
menghancurkan rumah. Islam melarang untuk membunuh orang terluka, mengejar
orang yang lari dari medan perang. Hal itu disebabkan karena perang itu laksana
tindakan operasi bedah, tidak boleh melampaui tempat penyakit itu berada
v(Sabiq, 1983 : jilid 3, h. 60).
Diriwayatkan dari Anas ra., bahwasanya Nabi SAW.
Bersabda: “ Berangkatlah kalian dengan nama Allah, dengan (pertolongan) Allah,
sesuai tuntutan agama(yang diajarkan) Rasulullah, janganlah kalian membunuh
orang tua jompo, anak yang masih kecil, perempuan, dan janganlah kalian
melampaui batas, kumpulkanlah harta rampasan perang kalian, ciptakan kedamaian,
dan berbuat baiklah sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.
(H.R. Abu Daud) (Sabiq, 1983: jilid 3, h. 47).
Orang jompo dan wanita yang dikecualikan
untuk dibunuh adalah mereka yang turut serta berperang atau memberi
pertimbangan kepada pasukan musuh (Sabiq, 1983: jilid 3, h. 47). Menurut Tafsir
Departemen Agama, orang beriman yang berjuang di jalan Allah dan mati syahid
dalam peperangan melawan orang kafir dikategorikan sebagai syahid dunia dan
akhirat., Istilah syahid akhirat digunakan terhadap : a) orang yang
menghabiskan usianya berjuang di jalan Allah dengan harta dan dengan segala
macam jalan yang dapat dilaksanakan; b) orang yang mati ditimpa musibah
mendadak atau teraniaya, seperti mati bersalin, tenggelam, dan terbunuh dengan
aniaya. Adapun syahid dunia digunakan terhadap orang yang mati berperang
melawan orang kafir hanya untuk mencari keuntungan duniawi, seperti untuk
mendapatkan harta rampasan, untuk mencari nama, dan sebagainya (Sakho Muhammad,
et.al., 2004: jilid 2, h. 200).
Pembagian syahid semacam inidikemukakan
pula dalam sejumlah kitab, seperti Fiqh as Sunnah(Sabiq, 1983: jilid 3, h. 40).
Terdapat beberapa ayat Al-Quran yang
memuji orang-orang yang mati syahid, diantaranya:
“Dan janganlah
kamu mengatakan orang-orang yang terbunuh di jalan Allah telah mati, sebenarnya
mereka hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.”(Qs. Al-Baqarah [2]: 154).
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang
mu’min diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Merka
berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh untuk terbunuh. (Itu telah
menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Quran. Dan
siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka
bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah
kemenangan besar.”(Qs. At-Taubah
[9]: 111).
B.Tindakan Bom Bunuh Diri
Saat ini, tindakan
bom bunuh diri banyak dilakukan di berbagai tempat, biasanya sebagai salah satu
bentuk perlawanan pihak yang lemah terhadap pihak yang lebih kuta. Tindakan bom
bunuh diri biasanya dilakukan terhadap sasaran yang tidak jelas. Tindakan ini tidak hanya menyebabkan pelakunya meninggal
dunia, tetapi biasanya juga menyebabkan kematian banyak orang yang tidak
bersalah. Orang-orang yang menjadi korban seringtidak mempunyai kaitan denan pihak yang
dimusuhi atau memusuhi pihak pelaku bom bunuh diri.
Pelaku bom bunuh diri atau
pendukungnya merujuk kepada hadis-hadis yang menceritakan tentang tindakan
tentara muslim yang menerobos pihak lawan untuk melakukan penyerangan hingga
akhirnya ia mati terbunuh. Tindakan semacam ini disebut inghimas (jbaku). Ada sejumlah hadis yang melukiskan tindakan inghimas. Di antaraya:
Dari Abu Bakar bin Abu Musa al-Asy’ari, ia berkata:
“Saya mendengar ayahku radhiyyalhu ‘anhu, selagi ia sedang menghadapi pasukan
musuh, berkata: Rasulullah SAW. Telah bersabda: ‘Sesungguhnya pintu-pintu
surgeberada dibawah bayang-bayang pedang.’Seorang
laki-laki yang usang pakaiannya lalu berdiri dan berkata: ‘ Wahai Abu Musa,
apakah engkau mendengarkan Rasulullah SAW mengatakan yang demikian ini? “ Abu
Musa menjawab: “Ya”. Abu Musa berkata: “Orang itu lalu kembali ke
kawan-kawannya seraya berkata: ‘Saya mengucapkan salam kepada kalian. ‘Ia
kemudian memecahkan sarung pedangnya lalu mencampakannya. Selanjutnya, ia
berjalan sambil membawa pedangnya kearah musuh dan menyerang dengan pedangnya
itu hingga ia terbunuh. (H.R.Muslim)
(an-Nawawi,2005:242).
Hadis di atas berisi motivasi kepada
tentara muslim yang sedang berhadapan dengan tentara musuh di medan perang.
Imbalan berupa surga yang dijanjikan kepada mereka yang mati dalam perang,
membuat anggota pasukan berani menghadapi musuh tanpa menghitung resiko yang
bakal dialaminya, baik yang berupa cacat fisik maupun kematian. Kandungan hadis
di atas tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan tindakan bom bunuh diri.
Tindakan bom bunuh diri mempunyai
karakteristik. Di antaranya: Pertama,
perbuatan ini termasuk tindakan bunuh diri atau kematian direncanakan. Kedua, perbuatan ini menyebabkan
orang-orang yang tidak bersalah ikut menjadi korban dan menyebabkan ketakutan
orang banyak. Ketiga, Perbuatan ini
mencerminkan sikap putus asa dan ketidakmampuan mencari bentuk tindakan yang
lebih baik dalam menyelesaikan suatu masalah. Keempat, perbuatan ini mempunyai tujuan yang tidak jelas pula. Kelima, pertimbangan subyektif sangat
menonjol dalam suatu tindakan bunuh diri.
Seorang ulama terkenal pada zaman
ini, Wahbah Zuhaily, dalam kitabnya Al-Fiqh al- Islamy Wa Adilatuhu dalam
bab Qowaid al –jihad menyatakan bahwa jihad hanya terjadi pada tiga hal, yaitu:
1.Apabila perbuatan itu terjadi pada saat bertemunya dua
pasukan yang sedang saling bertempur, yaitu pasukan Islam dan pasukan musuh.
2.Apabila penduduk suatu negeri muslim diserang oleh
musuh.
3.Apabila Amirul Mukminin, pemimpin negeri muslim,
memerintahkan warganya untuk pergi ke medan perang.
Kalau
kita perhatikan, tampak beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadis yang tidak
membenarkan tindakan bom bunuh diri. Di antaranya adalah: Pertama, larangan Al-Qur’an untuk membunuh diri sendiri:
Hai orang-orang
yang beriman, Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka
diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri. Sesungguhnya Allah
Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan cara melanggar
hukum dan zalim, akan kami masukan dia ke dalam mereka. Yang demikian itu mudah
bagi Allah (Qs. An- Nisa [4]: 29-30).
Kedua,
larangan mencelakakan diri sendiri.
“Dan infakkanlah
(hartamu) di jalan Allah, dan Janganlah kamu jatuhkan ( diri sendiri) ke dalam
kebinasaan dengan tangan sendiri dan berbuat baiklah. Sungguh, Allah menyukai
orang-orang yang berbuat baik.” (Qs Al-Baqarah [2]: 195).
Ketiga,
larangan membunuh orang lain tanpa alasan yang dibenarkan.
“Oleh karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani
Israil, bahwa: barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang
itu membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka
seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara
kehidupan seorangmanusia, maka seolah-olah
dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang
kepada mereka rasul-rasul kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang
jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu 413 sungguh-sungguh
melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.(Qs. Al-
Maidah[5]: 32)
Keempat,
larangan berputus asa dari rahmat Allah.
“Hai
anak-anaku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan
jangan kamu berputus asa dari rahmat Alah. Sesungguhnya yang berputus asa dari
rahmat Allah, hanyalah orang-orang yang kafir.”(Qs. Yusuf
[12]: 87)
C.Perbedaan antara Mati Syahid dengan Bom Bunuh Diri
Amaliyat al- isytisyhadberbeda
dengan bom bunuh diri. Pertama, orang
yang bunuh diri itu membunuh dirinya untuk kepentingan pribadinya sendiri
sementara pelaku amaliyat al- isytisyhad mempersembahkan
dirinya sebagai korban demi agama dan umatnya. Orang yang bunuh diri adalah
orang yang pesimistis atas dirinya dan atas ketentuan Allah, sedangkan pelaku amaliyat al- isytisyhad adalah manusia
yang seluruh cita-citanya tertuju untuk mencari rahmat dan keridhaan Allah
subahanahu wata’ala. Kedua, bom bunuh
diri hukumnya haram karena merupakan salah satu bentuk tindakan putus asa (al-ya’su) dan mencelakakan diri sendiri
(ihlak al-nafs), baik dilakukan di
daerah damai (dar al-shulh/dar
a1-salam/dar al-da’wah) maupun di daerah perang (dar al-harb). Ketiga, amaliyat al –isytisyhad
(tindakan mencari kesyahidan) diperbolehkan karena merupakan bagian dari jihad
binafsi yang dilakukan di daerah perang (dar
al- harb) dengan tujuan untuk
menimbulkan rasa takut (irhab) dan
kerugian yang lebih besar di pihak musuh Islam, termasuk melakukan tindakan
yang dapat mengakibatkan terbunuhnya diri sendiri (Fatwa MUI tentang
Terorisme). Dalam konteks ini Indonesia bukanlah dar al-harb melainkan dar
al-sulh dan dar al-mu’ahadah
(Negara dalam perjanjian). Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 mengikat
semua kaum muslim dan non- muslim di Indonesia untuk mempertahankan kedamaian
dan keutuhan negara. Semua umat beragama, termasuk umatIslam, memiliki kebebasan untuk
menjalankanajaran agamanya secara
damai.
Selama
ini terdapat anggapan yang salah di dalam masyarakat yang menyamakan jihad
dengan terorisme. Bahkan, oleh kalangan yang tidak mengerti ajaran Islam yang
luhur, Islam dicap sebagai agama teroris. Kekeliruan pemahaman ini bisa saja
disebabkan oleh kurangnya pemahaman masyarakat mengenai Islam, tetapi tidak
tertutup kemungkinan karena sebagian muslim justru melakukan jihad melalui
aksi-aksi terorisme. Padahal antara jihad terorisme jelas terdapat perbedaan
yang sangat mendasar.
Menurut
Majelis Ulama Indonesia (MUI), terorisme adalah “tindakan kejahatan terhadap
kemanusiaan dan peradaban yang menimbulkan ancaman serius terhadap kedaulatan negara,
bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia merugikan kesejahteraan masyarakat.
Terorisme adalah salah satu bentuk kejahatan yang diorganisasi dengan baik (well-organized), bersifat transnasional
dan digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang tidak
membedakan sasaran (indiscriminative)”.
Menurut
Konvensi PBB tahun 1939, terorisme adalah segala bentuk tindakan kejahatan yang
ditujukan langsung kepada Negara dengan maksud menciptakan bentuk terror
terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas. Dalam
kamus Webster’s New School and Office
Dictionary dijelaskan: “terrorism is the used of violence, intimidation,
etc to gain to end; especially a system of government ruling by terror,….”(Terorisme
adalah penggunaan kekerasan, intimidasi, dsb untuk merebut atau menghancurkan,
terutama, sistem pemerintahan yang berkuasa melalui terror…). Dari ketiga
definisi tersebut dapat dipahami bahwa terorisme adalah kejahatan (crime) yang mengancam kedaulatan negara
(against state/nation), melawan
kemanusiaan (against humanity) yang
dilakukan dengan berbagai bentuk tindakan kekerasan.
RAND
Corporation, sebuah lembaga penelitian dan pengembangan swasta terkemuka di AS,
melalui sejumlah penelitian dan pengkajiannya, menyimpulkan bahwa setiap
tindakan kriminal. Definisi lain menyatakan bahwa: (1) terorisme bukan bagian
dari tindakan perang, sehingga seyogyanya tetap dianggap sebagai tindakan kriminal,
termasuk juga dalam situasi diberlakukannya hukum perang; (2) sasaran sipil
merupakan sasaran utama terorisme, dan dengan demikian penyerangan terhadap
sasaran militer tidak dapat dikatergorikan sebagai tindakan terorisme; (3)
meskipun seringkali dilakukan untuk menyampaikan tuntutan politik, aksi
terorisme tidak dapat disebut sebagai aksi politik.
Dan
uraian tersebut di atas, jelas sekali perbedaan antara terorisme dengan Jihad.
Pertama, terorisme bersifat merusak (ifsad)
dan anarkis/ chaos (faudha). Kedua,
terorisme bertujuan untuk menciptakan rasa takut dan atau menghancurkan pihak
lain. Ketiga, terorisme dilakukan
tanpa aturan dan sasaran tanpa batas. Sebaliknya, jihad bersifat perbaikan (islah), sekalipun sebagian dilakukan
dengan berperang. Jihad bertujuan untuk menegakan agama Allah dan atau membela
hak pihak yang terdzalimi. Jihad dilakukan dengan mengikuti aturan yang
ditentukan oleh Syariat dengan sasaran musuh yang sudah jelas.
Karena
itulah, menurut MUI, hukum melakukan terror secara qath’ie adalah haram, dengan alasan apapun, apalagi jika dilakukan
di negeri yang damai (dar al-shulh) dan
Negara muslim seperti Indonesia. Hukum jihad adalah wajib bagi yang mampu
dengan beberapa syarat. Pertama, untuk
membela agama dan menahan agresi musuh yang menyerang terlebih dahulu. Kedua, untuk menjaga kemaslahatan atau
perbaikan, menegakan agama Allah dan membela hak-hak yang teraniaya. Ketiga, terikat dengan aturan seperti
musuh yang jelas, tidak boleh membunuh orang-orang tua renta, perempuan, dan
anak-anak yang tidak ikut berperang.
Jihad sebagai
salah satu wujud pengamalan ajaran agama Islam dapat dilaksanakan dalam
berbagai bentuk sesuai dengan situasi dan kondisi yang dialami oleh umat Islam.
Dalam situasi kaum muslimin mengalami penindasan, jihad dapat dilakukan dalam
bentuk peperangan untuk membela diri. Tetapi, dalam situasi damai jihad dapat
dilakukan dalam bentuk amal shalih seperti menunaikan ibadah haji, membantu
fakir-miskin, berbakti kepada orang tua, rajin belajar dan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar.
1.Perang
Islam mengajarkan
kepada pemeluknya untuk tidak pernah gentarberperang di jalan Allah. Apabila
kaum Muslim di zalimi, fardhu kifayah bagi kaum muslim untuk berjihad dengan
harta, jiwa dan raga. Jihad dalam bentuk peperangan diijinkan oleh Allah dengan
beberapa syarat: untuk membela Diri, dan melindungi dakwah. Hal ini dijelaskan
dalam firman Allah:
“Mengapakamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang
lemah, baik laki-laki, wanita, maupun anak-anak yang semuanya berdoa, “Ya Tuhan
kami, Keluarkanlah Kami dari negeri ini yang dzalim penduduknya dan berilah
kami pelindung dari sisi-mu.” (Qs.
An-Nisa[4]: 75)
“Diijinkan (berperang) bagi orang-orang yang
diperangi, karena sesungguhnya mereka dizalimi. Dan sungguh, Allah Mahakuasa
menolong mereka itu.” (Qs.al-Hajj[22]:39).
Dalam Berperang, kaum muslimin tidak boleh melampaui
batas, membunuh perempuan,anak-anak dan orang-orang tua renta yang tidak ikut
berperang. Islam juga melarang merusak akses dan fasilitas publik seperti
persediaan makanan, minuman dan pemukiman. Perang juga tidak boleh dilakukan
apabila negosiasi dan proses perjanjian damai masih mungkin dilakukan.
Peperangan harus segera dihentikan apabila musuh sudah menyerah, melakukan
gencatan senjata atau menekan perjanjian damai. Dalam ungkapan Al-Quran,
peperangan dilakukan untuk menghilangkan fitnah (kemusyrikan dan kezaliman),
dan karena itu, apabila telah tidak ada lagi fitnah, tidak ada alasan untuk
melakukan peperangan. Hal ini dijelaskan di dalam Al-Quran Surat al-Baqarah,
ayat 193:
“Perangilah mereka sampai batas berakhirnya
fitnah, dan agama itu hanya bagi Allah semata. Jika mereka telah berhenti, maka
tidak ada lagi permusuhan, kecuali terhadap orang-orang zalim.” (QS. Al-Baqarah: 193)
Demikian ajaran Islam mengenai perang. Singkatnya,
perang diijinkan dalam situasi dan kondisi yang sangat terpaksa. Apabila perang
terpaksa dilakukan, peperangan tersebut harus dilakukan untuk tujuan damai,
bukan untuk permusuhan dan membuat kerusakan di muka bumi.
2.Haji Mabrur
Haji
yang mabrur merupakan ibadah yang setara dengan jihad. Bahkan, bagi perempuan,
haji yang mabrur merupakan jihad yang utama. Hal ini ditegaskan dalam beberapa
Hadis, diantaranya :
Aisyah ra berkata : Aku menyatakan
kepada Rasulullah SAW : tidakkah kamu keluar berjihad bersamamu, aku tidak
melihat ada amalan yang lebih baik dari pada jihad, Rasulullah SAW menyatakan :
tidak ada, tetapi untukmu jihad yang lebih baik dan lebih indah adalah
melaksanakan haji menuju haji yang mabrur.
Pada
riwayat al- Bukhari lainnya, Rasulullah SAW juga bersabda :
“Aisyah menyatakan bahwa Rasulullah SAW
ditanya oleh isteri-isterinya tentang jihad beliau menjawab sebaik-baiknya
jihad adalah haji.”
3.Menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang dzalim
Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia umat Islam berjihad melawan
penjajahan Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang yang menimbulkan penderitaan
kesengsaraan rakyat yang mayoritas beragama Islam. Sebagian melakukan
perlawanan dengan cara perang gerilya, sebagian lainnya menempuh cara-cara
damai melalui organisasi yang memajukan pendidikan dan mengembangkan kebudayaan
yang membawa pesan anti penjajahan. Perintah jihad melawan penguasa yang zalim
disebutkan, antara lain, dalamhadist
riwayat at- Tirmizi:
Abu Said al Khurdi menyatakan bahwa Rasulullah SAW
bersabda : Sesungguhnya diantara jihad yang paling besar adalah menyampaikan
kebenaran kepada penguasa yang zalim.
KataA’ dzam pada hadist di atas,
menunjukan bahwa upaya menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang zalim sangat
besar. Sebab, hal itu sangat mungkin mengandung resiko yang cukup besar pula.
4.Berbaktikepada
orang tua
Jihad
yang lainnya adalah berbakti kepada orang tua. Islam mengajarkan kepada
pemeluknya untuk menghormati dan berbakti kepada orang tua, tidak hanya ketika
mereka masih hidup tetapi juga sampai kedua orang tua wafat. Seorang anak tetap
harus menghormati orangtuanya, meskipun seorang anak tidak wajib taat terhadap
orangtua yang memaksanya untuk berbuat musyrik (Qs.Luqman,[31]:14)
Jihad
dalamberbakti kepada orang tua juga
dijelaskan dalam Hadis.
Seseorang datang kepada Nabi SAW untuk meminta izin
ikut berjihad bersamanya Kemudian Nabi SAW bertanya: apakah kedua orang tuamu
masih hidup? Ia menjawab: masih, Nabi SAW bersabda: terhadap keduanya maka
berjihadlah kamu.
Berjihad
untuk orang tua, berarti melaksanakan petunjuk, arahan, bimbingan, dan kemauan
orang tua. Kata fajahid dalam hadis tersebut, berarti memperlakukan orangtua
dengan cara yang baik, yaitu dengan mengupayakan kesenangan orangtua,
menghargai jasa-jasanya, menyembunyikan melemah dengan kekurangannya serta
berperilaku dengan tutur katadan
perbuatan yang mulia. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat
al-Isra[17] ayat 23:
“ Dan Tuhanmu
telah memerintahkan supaya kamu jangan menyerah selain Dia dan hendaklah kamu
berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang
diantara keduanya atau keduanya sampai berumur lanjut, dalam peliharaanmu maka
sekali-kali janganlah mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah
kamu membentakmereka dan ucapkanlah
kepada mereka perkataan yang mulia”.
5.MenuntutIlmu
dan Mengembangkan Pendidikan
Bentuk
Jihad yang lainnya adalah menuntut ilmu, memajukan pendidikan masyarakat. Di
dalam sebuah Hadis diriwayatkan Imam Ibnu Madjah disebutkan :
Orang yang datang ke masjidku ini tidak lain kecuali
karena kebaikan yang dipelajarinya atau diajarkannya, maka ia sama dengan orang
yang berjihad di jalan Allah. Barang siapa yang datang bukan karena itu, maka
sama dengan orang yang melihat kesenangan orang lain. (riwayat Ibnu Majah)
Orang
yang datang ke mesjid Nabi untuk mempelajari dan mengajarkan ilmu sebagaimana
disebutkan pada hadis di atas, diposisikan seperti orang berjihad di jalan
Allah. Dengan semangat belajar, umat Islam bisa memajukan pendidikan, pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi demi kesejahteraan umat. Salah satu sebab
kemunduran umat Islam adalah karena kelemahannya dalam ilmu pengetahuan dan
teknologi.
6.Membantu Fakir-Miskin.
Jihad
yang tidak kalah pentingnya adalah membantu orang miskin, peduli kepada sesama,
menyantuni kaum duafa. Bantuan pemberdayaan dapat diberikan dalam bentuk
perhatian dan perlindungan atau bantuan material.
Hadis
yang diriwayatkan Bukhori berikut ini menjelaskan:
“Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW
bersabda, “Orang yang menolong dan memberikan perlindungan kepada janda dan
orang miskin sama seperti orang yang melakukan jihad di jalan Allah.” (HR.
Bukhori)
Memberikan bantuan financial dan perlindungan kepada
orang miskin dan janda, merupakan amalan yang sama nilainya dengan jihad di
jalan Allah.
Sebab,
jihad dan perhatian atau kepedulian kepada orang yang membutuhkan bantuan,
keduanya sama-sama membutuhkan pengorbanan. Dengan membantu dan memperhatikan
orang-orang lemah, kita dituntut untuk mengorbankan waktu, tenaga, dan harta
untuk kepentingan orang lain. Dan inipun, sangat sesuai dengan pengertian jihad
yang sesungguhnya.
Pemahaman
jihad yang baik dan berimplikasi positif terhadap umat Islam. Hasilnya setiap
muslim memiliki sense of crisis, suka menolong terhadap orang lain, tidak
mengorbankan permusuhan, menjauhi kekerasan, serta mengedepankan perdamain.
Jihad, juga dapat meningkatkan etos kerja umat Islam, yaitu semangat dan
kesungguhan melakukan tugas dan tanggung jawab dalam berbagai bidang kehidupan.
Jihad dapat mengalahkan kemalasan dan ketakutan. Dengan semangat jihad, dapat
mengggunakan semua potensi maksimal yang dimilikinya untuk mengaktualisasikan
diri dan meningkatkan sumber dayanya, sehingga dapat berguna bagi agama, nusa
dan bangsa. Di tengah, banyaknya bencana dan musibah yang merenggut ribuan
nyawa, jihad dalam bentuk kepedulian dan kepekaan kepada sesama, sangat
diperlukan.
Menurut pengertian
bahasa, jihad berasal dari kata juhd (Arabic word) yang berarti kemampuan, atau mengeluarkan
sepenuh tenaga dan kemampuan dalam mengerjakan sesuatu. Kata jihad juga berasal
dari kata Jahd (Arabic word) yang berarti kesukaran yang untuk mengatasinya
harus dilakukan dengan sungguh-sungguh.Jihad juga berarti perang. Demikianlah
keterangan Wahbah al-Zuhaili dalam Kitab al-Fiqh al-Islam waadillatuhu. Singkatnya,
menurut pengertian bahasa, jihad berarti bekerja keras, bersungguh-sungguh,
mengerahkan seluruh kemampuan untuk menyelesaikan suatu masalah atau mencapai
tujuan yang mulia.
Menurut Al-Ragib al-Isfahani, Kitab Mu’jam Mufradat lial-fadz Al-Qur’an dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan jihad adalah mengerahkan segala kemampuan untuk
menangkis serangan dan menghadapi musuh yang tidak tampak yaitu hawa nafsu
setan dan musuh yang tampak yaitu orang kafir yang memusuhi Islam. Jihad dalam
pengertian ini tidak hanya mencangkup pengertian perang melawa musuh yang
memerangi Islam tetapi lebih luas lagi, jihad berarti berusaha sekuat tenaga
dan kemampuan untuk mengalahkan nafsu setan dalam diri manusia.
Selain pengertian diatas, para
fuqaha mengertikan jihad sebagai upaya mengerapkan segenap kekuatan dalam
perang fi sabilillah baik secara
langsung, maupun dalam bentuk pemberian bantuan keuangan, pendapat atau
penyediaaan logistik dan lain-lain untuk memenangkan peperangan (Ibn Abidin,
Hasyiyah Ibn Abidin, 111/336). Senada dengan Ibn Abidin, An-Nabhani dalam Asy-
Syakhsiyah al-Islamiyyah, 11/53
mendefinisikan jihad sebagai perang terhadap orang-orang kafir untuk
meninggikan kalimat Allah.
Di dalam Al-Qur’an kata jihad dalam berbagai kata bentukannya
disebutkan sebanyak 41 kali. Dari beberapa ayat tersebut, jihad dapat berarti
perjuangan yang berat, mengerahkan segenap kemampuan untuk meraih suatu tujuan
dan berperang. Jihad yang berarti berperang lebih banyak disebutkan dengan kata
“qital”, hanya sebagian kecil yang disebutkan dengan kata “Jihad”. Jihaddalam pengertian pertama bekerja keras dengan
seluruh kemampuan antara lain disebutkan dalam firman Allah :
“Apabila keduanya (ibu bapak) berjihad
(bersungguh-sungguh hingga letih memaksamu) untuk mempersekutukan aku dengan
sesuatu yang tidak ada bagimu pengetahuan tentang itu ( apalagi jika kamu telah
mengetahui bahwa Allah tidak boleh dipersekutukan dengan sesuatu apapun),
jangan taati mereka, namun pergauli keduanya di dunia dengan baik.”(Qs. Luqman
[31]: 15).
Sedangkan
jihad yang berarti berperang antara lain disebutkan dalam firman Allah, surat
al-Baqarah, ayat 190:
“Dan perangilah
di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, tetapi janganlah melampaui
batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas.”
(Qs. Al-Baqarah[2]: 190)
Dari penjelasan
tersebut dapat disimpulkan bahwa jihad adalah usaha yang sungguh-sungguh dengan
segenap kemampuan untuk mencapai tujuan luhur di jalan Allah. Jihad dapat
dilakukan dengan bekerja keras melawan hawa nafsu yang menghancurkan dan
menjerumuskan manusia kepada kebinasaan. Jihad dalam bentuk perang oleh Allah
demi menjaga kehormatan, harkat dan martabat manusia dan kaum muslimin.