Tindakan Bom Bunuh Diri
Saat ini,
tindakan bom bunuh diri banyak dilakukan di berbagai tempat, biasanya sebagai
salah satu bentuk perlawanan pihak yang lemah terhadap pihak yang lebih kuta.
Tindakan bom bunuh diri biasanya dilakukan terhadap sasaran yang tidak jelas.
Tindakan ini tidak hanya menyebabkan
pelakunya meninggal dunia, tetapi biasanya juga menyebabkan kematian banyak
orang yang tidak bersalah. Orang-orang yang menjadi korban sering tidak mempunyai kaitan denan pihak yang
dimusuhi atau memusuhi pihak pelaku bom bunuh diri.
Pelaku bom bunuh diri atau
pendukungnya merujuk kepada hadis-hadis yang menceritakan tentang tindakan
tentara muslim yang menerobos pihak lawan untuk melakukan penyerangan hingga
akhirnya ia mati terbunuh. Tindakan semacam ini disebut inghimas (jbaku). Ada sejumlah hadis yang melukiskan tindakan inghimas. Di antaraya:
Dari Abu Bakar bin Abu Musa al-Asy’ari, ia berkata:
“Saya mendengar ayahku radhiyyalhu ‘anhu, selagi ia sedang menghadapi pasukan
musuh, berkata: Rasulullah SAW. Telah bersabda: ‘Sesungguhnya pintu-pintu
surge berada dibawah bayang-bayang pedang.’Seorang
laki-laki yang usang pakaiannya lalu berdiri dan berkata: ‘ Wahai Abu Musa,
apakah engkau mendengarkan Rasulullah SAW mengatakan yang demikian ini? “ Abu
Musa menjawab: “Ya”. Abu Musa berkata: “Orang itu lalu kembali ke
kawan-kawannya seraya berkata: ‘Saya mengucapkan salam kepada kalian. ‘Ia
kemudian memecahkan sarung pedangnya lalu mencampakannya. Selanjutnya, ia
berjalan sambil membawa pedangnya kearah musuh dan menyerang dengan pedangnya
itu hingga ia terbunuh. (H.R.Muslim)
(an-Nawawi,2005:242).
Hadis di atas berisi motivasi
kepada tentara muslim yang sedang berhadapan dengan tentara musuh di medan
perang. Imbalan berupa surga yang dijanjikan kepada mereka yang mati dalam perang,
membuat anggota pasukan berani menghadapi musuh tanpa menghitung resiko yang
bakal dialaminya, baik yang berupa cacat fisik maupun kematian. Kandungan hadis
di atas tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan tindakan bom bunuh diri.
Tindakan bom bunuh diri mempunyai
karakteristik. Di antaranya: Pertama,
perbuatan ini termasuk tindakan bunuh diri atau kematian direncanakan. Kedua, perbuatan ini menyebabkan
orang-orang yang tidak bersalah ikut menjadi korban dan menyebabkan ketakutan
orang banyak. Ketiga, Perbuatan ini
mencerminkan sikap putus asa dan ketidakmampuan mencari bentuk tindakan yang
lebih baik dalam menyelesaikan suatu masalah. Keempat, perbuatan ini mempunyai tujuan yang tidak jelas pula. Kelima, pertimbangan subyektif sangat
menonjol dalam suatu tindakan bunuh diri.
Seorang ulama terkenal pada zaman
ini, Wahbah Zuhaily, dalam kitabnya Al-Fiqh al- Islamy Wa Adilatuhu dalam
bab Qowaid al –jihad menyatakan bahwa jihad hanya terjadi pada tiga hal, yaitu:
1. Apabila perbuatan itu terjadi pada saat bertemunya dua
pasukan yang sedang saling bertempur, yaitu pasukan Islam dan pasukan musuh.
2. Apabila penduduk suatu negeri muslim diserang oleh
musuh.
3. Apabila Amirul Mukminin, pemimpin negeri muslim,
memerintahkan warganya untuk pergi ke medan perang.
Kalau kita perhatikan, tampak beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadis yang
tidak membenarkan tindakan bom bunuh diri. Di antaranya adalah: Pertama, larangan Al-Qur’an untuk
membunuh diri sendiri:
Hai
orang-orang yang beriman, Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama
suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri. Sesungguhnya
Allah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan cara
melanggar hukum dan zalim, akan kami masukan dia ke dalam mereka. Yang demikian
itu mudah bagi Allah (Qs. An- Nisa [4]: 29-30).
Kedua,
larangan mencelakakan diri sendiri.
“Dan
infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan Janganlah kamu jatuhkan ( diri
sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri dan berbuat baiklah.
Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Qs Al-Baqarah [2]:
195).
Ketiga, larangan membunuh orang lain tanpa alasan yang dibenarkan.
“Oleh karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani
Israil, bahwa: barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang
itu membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka
seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara
kehidupan seorang manusia, maka
seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya
telah datang kepada mereka rasul-rasul kami dengan (membawa)
keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu
413 sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi. (Qs. Al-
Maidah[5]: 32)
Keempat, larangan berputus asa dari rahmat Allah.
“Hai
anak-anaku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan
jangan kamu berputus asa dari rahmat Alah. Sesungguhnya yang berputus asa dari
rahmat Allah, hanyalah orang-orang yang kafir.” (Qs. Yusuf
[12]: 87)
Perbedaan antara Mati Syahid dengan Bom Bunuh Diri
Amaliyat al- isytisyhad berbeda
dengan bom bunuh diri. Pertama, orang
yang bunuh diri itu membunuh dirinya untuk kepentingan pribadinya sendiri
sementara pelaku amaliyat al- isytisyhad mempersembahkan
dirinya sebagai korban demi agama dan umatnya. Orang yang bunuh diri adalah
orang yang pesimistis atas dirinya dan atas ketentuan Allah, sedangkan pelaku amaliyat al- isytisyhad adalah manusia
yang seluruh cita-citanya tertuju untuk mencari rahmat dan keridhaan Allah
subahanahu wata’ala. Kedua, bom bunuh
diri hukumnya haram karena merupakan salah satu bentuk tindakan putus asa (al-ya’su) dan mencelakakan diri sendiri
(ihlak al-nafs), baik dilakukan di
daerah damai (dar al-shulh/dar
a1-salam/dar al-da’wah) maupun di daerah perang (dar al-harb). Ketiga, amaliyat al –isytisyhad
(tindakan mencari kesyahidan) diperbolehkan karena merupakan bagian dari jihad
binafsi yang dilakukan di daerah perang (dar
al- harb) dengan tujuan untuk
menimbulkan rasa takut (irhab) dan
kerugian yang lebih besar di pihak musuh Islam, termasuk melakukan tindakan
yang dapat mengakibatkan terbunuhnya diri sendiri (Fatwa MUI tentang
Terorisme). Dalam konteks ini Indonesia bukanlah dar al-harb melainkan dar
al-sulh dan dar al-mu’ahadah
(Negara dalam perjanjian). Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 mengikat
semua kaum muslim dan non- muslim di Indonesia untuk mempertahankan kedamaian
dan keutuhan negara. Semua umat beragama, termasuk umat Islam, memiliki kebebasan untuk
menjalankan ajaran agamanya secara
damai.
PESANTREN BUKAN SARANG TERORIS
Aksi-aksi
terorisme yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia tidak hanya menimbulkan korban jiwa dan
kerusakan sarana fisik, tetapi juga rusaknya citra bangsa dan umat Islam
Indonesia. Mereka yang tidak menyukai Islam semakin keras meyuarakan kebencian dan stigmatisasi bahwa
Islam adalah agama teroris. Lebih dari itu, mereka yang tidak memahami Islam di
Indonesia dengan mudah menuduh lembaga-lembaga pendidikan Islam, khususnya
pesantren dan madrasah sebagai sarang
teroris.
Para
pengamat barat menuding bahwa aksi-aksi terorisme di Indonesia digerakan oleh
jaringan terorisme al-Qaeda dan Jamaah Islamiyah (JI) yang basisnya berada di
pesantren tertentu di Indonesia. Beberapa pelaku yang terbukti terlibat baik
langsung maupun tidak langsung dalam aksi-aksi terorisme memang pernah belajar
di pesantren tertentu. Dengan dalih itulah, muncul kesimpulan yang biasa, bahwa
pesantren adalah sarang teroris. Pernyataan bahwa pesantren adalah sarang
teroris jelas menunjukan kurangnya pemahaman tentang Islam Indonesia dan lebih
jauh lagi meluka perasaan seluruh umat Islam terutama kalangan pesantren.
Kekeliruan
anggapan tersebut dapat dibuktikan dengan beberapa argument. Pertama, secara kelembagaan pesantren
merupakan lembaga pendidikan agama yang berada di bawah pengawasan dan
pembinaan Departemen Agama. Pesantren dikelola oleh lembaga-lembaga keagamaan
yang selama ini sangat mendukung tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) seperti Muhammadiyah, Nahdatul Ulama (NU) dan Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia (DDII), Persis, PUI, dan lain-lain.
Kedua,
Kurikulum dan kitab-kitab yang
diajarkan di pesantren berisi materi keagamaan yang menekankan ketaatan
beribadah, muamalah dan akhlak alkarimah. Di dalam pesantren memang diajarkan
tentang jihad sebagai bagian dari kajian kitab-kitab Fiqh. Pengajaran materi jihad tiada lain karena jihad merupakan
bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam. Pembelajaran tentang jihad,
senantiasa disandingkan dengan konsep lain yang mempunyai keterkaitan
dengannya, yaitu ijtihad dan mujahadah. Jadi, jihad yang dimaksudkan adalah bagaimana seorang
santri secara sungguh-sungguh mau berjuang di jalan Allah agar menemukan
kebenaran dan kebahagiaan.
Ketiga, adanya beberapa pelaku terroris
yang pernah belajar di pesantren tidak berarti pesantren mengajarkan terorisme.
Tidak sedikit founding fathers (
pendiri negara) Indonesia adalah alumni pesantren. Mereka adalah mutjahid (pemikir) dan mujahid (pejuang) yang ditempa dalam
pendidikan pesantren. Dengan logika sederhana, misalnya, ketika ada seorang
penjahat alumni sekolah atau universitas , tidak berarti lembaga pendidikan
tersebut mendidik siswa atau mahasiswanya menjadi penjahat.
Karena
itu, adanya beberapa alumni pesantren yang terlibat dalam aksi terorisme tidak
berarti sama sekali bahwa pesantren adalah sarang teroris. Penelitian membuktikan bahwa para
pelaku teroris justru belajar merakit bom dan menjadi ekstrimis setelah mereka
tidak lagi belajar di pesantren. Mereka menjadi teroris karena berbagai macam
pengalaman hidup, Ketidakadilan hukum, kemiskinan dan tekanan politik. Faktor
psikologis, sosiologis, ekonomi dan politik
inilah yang sering kali tidak atau kurang disinggung sebagai sebab
tindakan terorisme.
Maka,
untuk memburu teroris dan memberantas terorisme di zaman seperti ini,
penyelesaian masalah secara kompherensif haruslah dilakukan secara arif,
teliti, dan cerdas. Stigmanisasi terhadap umat islam pasca peristiwa 11
September 2001 yang menjadikannya sebagai tertuduh, bagi sebagian umat Islam
yang lain tentu semakin membangkitkan gejala perlawanan terhadap semua tindakan
dan kaki tangan barat. Begitu juga dengan gejala terorisme Negara yang ditunjukan
oleh Amerika dan Israel terhadap bangsa Palestina, Libanon, Irak, dan
Afghanistan tentu semakin mengobarkan api peperangan bagi mereka yang sudah
mempunyai potensi melawan barat. Oleh karenanya, pemberantasan teror hendaknya
dilakukan dengan metode yang bersifat komprehensif, edukatif, dan jauh dari
diskrriminasi dan kekerasan. Jangan sampai pesantren menjadi korban dari
tindakan yang kurang memahami akar masalah terorisme.
PENUTUP
Dari uraian di atas dapat disimpulkan: Pertama, jihad tidak selamanya berarti
perang, karena di dalam Islam jihad dapat berbentuk haji mabrur, keberanian
menyampaikan kebenaran terhadap penguasa
yang zalim, berbakti kepada kedua orang tua, menuntut ilmu dan mengembangkan
pendidikan, dan kepedulian, sosial. Kedua,
obyek jihad adalah orang kafir yang memusuhi Islam, orang munafiq, hawa nafsu,
kezaliman, kemunkaran, kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan. Ketiga, jihad adalah salah satu azas
iman,amal utama dan puncak amaliah tertinggi. Keempat, termasuk jihad adalah semua upaya sungguh-sungguh
memperbaiki dan kualitas kehidupan muslim baik kualitas iman maupun
kesejahteraan. Kelima, Indonesia
bukan wilayah dar al-harb melainkan
Negara damai dan Negara dalam perjanjian karena umat Islam memiliki kesempatan
dan kebebasan untuk menjalankan ajaran agamanya.