Senin, 25 Juni 2012

Jihad Aku

Sejak tiga dekade terakhir di penghujung milenium kedua, tepatnya pertengahan tahun tujuh puluhan, masyarakat internasional dikejutkan oleh berbagai tindakun kekerasan, khususnya aksi teror terhadap berbagai kepentingan Amerika Serikat[1] dan Israel. Aksi-aksi tersebut terus meluas seiring dengan datangnya milenium ketiga yang ditandai dengan serangan 11 September 2001 terhadap gedung WTC dan Pentagon. Islam dan umat Islam menjadi pihak yang tertuduh dalam aksi tersebut dan yang sebelumnya, dan dianggap sebagai ancaman" bagi kehidupan masyarakat dunia. Berbagai stigma dilekatkan. Islam identik dengan kekerasan, teroris fundamentalisme, radikalisme, dan sebagainya. Stigmatisasi ini seakan membenarkan pandangan beberapa pemikir Barat yang berpandangan Islam sebagai ancaman pasca-runtuhnya Soviet, seperti Samuel Huntington dengan tesisnya "the clash of civilization".

Dengan menggalang kekuatan internasional, AS melancarkan kampanye anti-teror. Atas nama itu Afghanistan dan Irak diserang. Berbagai organisasi dan gerakan keagamaan juga menjadi sasaran, terutama jaringan al-Qaeda internasional. Tuduhan tersebut menemukan relevansinya dengan pernyataan para pelaku yang menyebutkan motivasi keagamaan dibalik aksi mereka, sehingga banyak pengamat mengaitkan gerakan Islam garis keras dengan terorisme dan kekerasan. Kendati banyak faktor yang melatar belakanginya, seperti politik. ekonomi, sosial. psikologi, dan lainnya, tetapi faktor keyakinan dan pemahaman. terhadap beberapa doktrin keagamaan agaknya yang paling dominan. Seakan perlawanan menentang hegemoni suatu kekuatan tertentu, yang notabene berbeda agama, ialam berbagai dimensi kehidupan mendapat legitimasi dari teks-teks keagamaan, tentunya dengan pemahaman yang literal (nashshl), parsial (juz'i) dan ekstrem/berlebihan (tatharruf/ghuluw). Sehingga, terkesan konflik bukan lagi karena akumulasi berbagai kekecewaan akibat hegemoni pihak tertentu, tetapi seakan meluas kepada konflik agama.

Fenomena meningkatnya gairah keagamaan, untuk tidak mengatakan kebangkitan Islam, di kalangan muda seperti disinyalir oleh Syekh Yusuf al-Qaradhawi juga telah diwarnai dengan sikap berlebihan (al-ghuluw) dan ekstremitas (at-tatharruf)[2] sehingga tuduhan banyak kalangan bahwa Islam menganjurkan kekerasan dan terorisme menjadi semakin melekat. Konsep menegakkan kebenaran dan memberantas kemungkaran (amar makruf nahi munkar) bagi sebagian kalangan menjadi dalih berbagai aksi kekerasan. Islam dan umat Islam 'seakan' menjadi tidak ramah lagi terhadap penganut agama lain. Padahal, sekian banyak teks keagamaan dalam Islam mengecam keras segala bentuk kekerasan dan terorisme seperti dalam pandangan banyak kalangan Barat.
           
Sejujurnya, kita dapat mengatakan, pandangan-pandangan seperti itu lahir disebabkan, setidaknya, oleh dua hal: 1) ketidaktahuan Barat tentang Islam yang sebeharnya, karena pengetahuan Barat tentang Islam diwarnai oleh buku-buku keislaman yang ditulis oleh orientalis pada masa penjajahan dahulu; 2) kerancuan dalam memahami konsep jihad dan perang dalam Islam dan mempersamakannya dengan terorisme dalam pandangan mereka.
           
Atas dasar itu, merupakan suatu kewajiban bagi umat Islam untuk memahami lebih jauh lagi ajaran Islam, sebelum kita memahamkan orang lain dan membuktikan dengan tindakan nyata bahwa Islam adalah agama kedamaian yang akan menebar kasih di muka bumi. Kami utus engkau (hai Muhammad) tidak lain untuk menebar rasa kasih bagi semesta alam. (QS. al-Anbiya' [21]: 107)

Senin, 04 Juni 2012

Hukum Bom Bunuh Diri

Tindakan Bom Bunuh Diri

Saat ini, tindakan bom bunuh diri banyak dilakukan di berbagai tempat, biasanya sebagai salah satu bentuk perlawanan pihak yang lemah terhadap pihak yang lebih kuta. Tindakan bom bunuh diri biasanya dilakukan terhadap sasaran yang tidak jelas. Tindakan ini  tidak hanya menyebabkan pelakunya meninggal dunia, tetapi biasanya juga menyebabkan kematian banyak orang yang tidak bersalah. Orang-orang yang menjadi korban sering  tidak mempunyai kaitan denan pihak yang dimusuhi atau memusuhi pihak pelaku bom bunuh diri.

                Pelaku bom bunuh diri atau pendukungnya merujuk kepada hadis-hadis yang menceritakan tentang tindakan tentara muslim yang menerobos pihak lawan untuk melakukan penyerangan hingga akhirnya ia mati terbunuh. Tindakan semacam ini disebut inghimas (jbaku). Ada sejumlah hadis yang melukiskan tindakan inghimas. Di antaraya:

Dari Abu Bakar bin Abu Musa al-Asy’ari, ia berkata: “Saya mendengar ayahku radhiyyalhu ‘anhu, selagi ia sedang menghadapi pasukan musuh, berkata: Rasulullah SAW. Telah bersabda: ‘Sesungguhnya pintu-pintu surge  berada dibawah bayang-bayang pedang.’Seorang laki-laki yang usang pakaiannya lalu berdiri dan berkata: ‘ Wahai Abu Musa, apakah engkau mendengarkan Rasulullah SAW mengatakan yang demikian ini? “ Abu Musa menjawab: “Ya”. Abu Musa berkata: “Orang itu lalu kembali ke kawan-kawannya seraya berkata: ‘Saya mengucapkan salam kepada kalian. ‘Ia kemudian memecahkan sarung pedangnya lalu mencampakannya. Selanjutnya, ia berjalan sambil membawa pedangnya kearah musuh dan menyerang dengan pedangnya itu hingga ia terbunuh. (H.R.Muslim) (an-Nawawi,2005:242).

                Hadis di atas berisi motivasi kepada tentara muslim yang sedang berhadapan dengan tentara musuh di medan perang. Imbalan berupa surga yang dijanjikan kepada mereka yang mati dalam perang, membuat anggota pasukan berani menghadapi musuh tanpa menghitung resiko yang bakal dialaminya, baik yang berupa cacat fisik maupun kematian. Kandungan hadis di atas tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan tindakan bom bunuh diri.

                Tindakan bom bunuh diri mempunyai karakteristik. Di antaranya: Pertama, perbuatan ini termasuk tindakan bunuh diri atau kematian direncanakan. Kedua, perbuatan ini menyebabkan orang-orang yang tidak bersalah ikut menjadi korban dan menyebabkan ketakutan orang banyak. Ketiga, Perbuatan ini mencerminkan sikap putus asa dan ketidakmampuan mencari bentuk tindakan yang lebih baik dalam menyelesaikan suatu masalah. Keempat, perbuatan ini mempunyai tujuan yang tidak jelas pula. Kelima, pertimbangan subyektif sangat menonjol dalam suatu tindakan bunuh diri.

                Seorang ulama terkenal pada zaman ini, Wahbah Zuhaily, dalam kitabnya Al-Fiqh al- Islamy Wa Adilatuhu dalam bab Qowaid al –jihad menyatakan bahwa jihad hanya terjadi pada tiga hal, yaitu:

1.     Apabila perbuatan itu terjadi pada saat bertemunya dua pasukan yang sedang saling bertempur, yaitu pasukan Islam dan pasukan musuh.
2.     Apabila penduduk suatu negeri muslim diserang oleh musuh.
3.     Apabila Amirul Mukminin, pemimpin negeri muslim, memerintahkan warganya untuk pergi ke medan perang.


Kalau kita perhatikan, tampak beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadis yang tidak membenarkan tindakan bom bunuh diri. Di antaranya adalah: Pertama, larangan Al-Qur’an untuk membunuh diri sendiri:

Hai orang-orang yang beriman, Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan cara melanggar hukum dan zalim, akan kami masukan dia ke dalam mereka. Yang demikian itu mudah bagi Allah (Qs. An- Nisa [4]: 29-30).

Kedua, larangan mencelakakan diri sendiri.

“Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan Janganlah kamu jatuhkan ( diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri dan berbuat baiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Qs Al-Baqarah [2]: 195).


                Ketiga, larangan membunuh orang lain tanpa alasan yang dibenarkan.

“Oleh karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia  seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang  manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu 413 sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi. (Qs. Al- Maidah[5]: 32)

                Keempat, larangan berputus asa dari rahmat Allah.

 “Hai anak-anaku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Alah. Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah, hanyalah orang-orang yang kafir.” (Qs. Yusuf [12]: 87)


Perbedaan antara Mati Syahid dengan Bom Bunuh Diri

Amaliyat al- isytisyhad berbeda dengan bom bunuh diri. Pertama, orang yang bunuh diri itu membunuh dirinya untuk kepentingan pribadinya sendiri sementara pelaku amaliyat al- isytisyhad mempersembahkan dirinya sebagai korban demi agama dan umatnya. Orang yang bunuh diri adalah orang yang pesimistis atas dirinya dan atas ketentuan Allah, sedangkan pelaku amaliyat al- isytisyhad adalah manusia yang seluruh cita-citanya tertuju untuk mencari rahmat dan keridhaan Allah subahanahu wata’ala. Kedua, bom bunuh diri hukumnya haram karena merupakan salah satu bentuk tindakan putus asa (al-ya’su) dan mencelakakan diri sendiri (ihlak al-nafs), baik dilakukan di daerah damai (dar al-shulh/dar a1-salam/dar al-da’wah) maupun di daerah perang (dar al-harb). Ketiga, amaliyat al –isytisyhad (tindakan mencari kesyahidan) diperbolehkan karena merupakan bagian dari jihad binafsi yang dilakukan di daerah perang (dar al- harb) dengan tujuan  untuk menimbulkan rasa takut (irhab) dan kerugian yang lebih besar di pihak musuh Islam, termasuk melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan terbunuhnya diri sendiri (Fatwa MUI tentang Terorisme). Dalam konteks ini Indonesia bukanlah dar al-harb melainkan dar al-sulh dan dar al-mu’ahadah (Negara dalam perjanjian). Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 mengikat semua kaum muslim dan non- muslim di Indonesia untuk mempertahankan kedamaian dan keutuhan negara. Semua umat beragama, termasuk umat  Islam, memiliki kebebasan untuk menjalankan  ajaran agamanya secara damai.


PESANTREN BUKAN SARANG TERORIS

                                        Aksi-aksi terorisme yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia  tidak hanya menimbulkan korban jiwa dan kerusakan sarana fisik, tetapi juga rusaknya citra bangsa dan umat Islam Indonesia. Mereka yang tidak menyukai Islam semakin keras  meyuarakan kebencian dan stigmatisasi bahwa Islam adalah agama teroris. Lebih dari itu, mereka yang tidak memahami Islam di Indonesia dengan mudah menuduh lembaga-lembaga pendidikan Islam, khususnya pesantren dan madrasah  sebagai sarang teroris.

                   Para pengamat barat menuding bahwa aksi-aksi terorisme di Indonesia digerakan oleh jaringan terorisme al-Qaeda dan Jamaah Islamiyah (JI) yang basisnya berada di pesantren tertentu di Indonesia. Beberapa pelaku yang terbukti terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam aksi-aksi terorisme memang pernah belajar di pesantren tertentu. Dengan dalih itulah, muncul kesimpulan yang biasa, bahwa pesantren adalah sarang teroris. Pernyataan bahwa pesantren adalah sarang teroris jelas menunjukan kurangnya pemahaman tentang Islam Indonesia dan lebih jauh lagi meluka perasaan seluruh umat Islam terutama kalangan pesantren.

                                           Kekeliruan anggapan tersebut dapat dibuktikan dengan beberapa argument. Pertama, secara kelembagaan pesantren merupakan lembaga pendidikan agama yang berada di bawah pengawasan dan pembinaan Departemen Agama. Pesantren dikelola oleh lembaga-lembaga keagamaan yang selama ini sangat mendukung tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seperti Muhammadiyah, Nahdatul Ulama (NU) dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Persis, PUI, dan lain-lain.

                                           Kedua, Kurikulum dan kitab-kitab yang diajarkan di pesantren berisi materi keagamaan yang menekankan ketaatan beribadah, muamalah dan akhlak alkarimah. Di dalam pesantren memang diajarkan tentang jihad sebagai bagian dari kajian kitab-kitab Fiqh. Pengajaran materi jihad tiada lain karena jihad merupakan bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam. Pembelajaran tentang jihad, senantiasa disandingkan dengan konsep lain yang mempunyai keterkaitan dengannya, yaitu ijtihad dan mujahadah. Jadi, jihad  yang dimaksudkan adalah bagaimana seorang santri secara sungguh-sungguh mau berjuang di jalan Allah agar menemukan kebenaran dan kebahagiaan.

                                           Ketiga, adanya beberapa pelaku terroris yang pernah belajar di pesantren tidak berarti pesantren mengajarkan terorisme. Tidak sedikit founding fathers ( pendiri negara) Indonesia adalah alumni pesantren. Mereka adalah mutjahid (pemikir) dan mujahid (pejuang) yang ditempa dalam pendidikan pesantren. Dengan logika sederhana, misalnya, ketika ada seorang penjahat alumni sekolah atau universitas , tidak berarti lembaga pendidikan tersebut mendidik siswa atau mahasiswanya menjadi penjahat.

                                           Karena itu, adanya beberapa alumni pesantren yang terlibat dalam aksi terorisme tidak berarti sama sekali bahwa pesantren adalah sarang  teroris. Penelitian membuktikan bahwa para pelaku teroris justru belajar merakit bom dan menjadi ekstrimis setelah mereka tidak lagi belajar di pesantren. Mereka menjadi teroris karena berbagai macam pengalaman hidup, Ketidakadilan hukum, kemiskinan dan tekanan politik. Faktor psikologis, sosiologis, ekonomi dan politik  inilah yang sering kali tidak atau kurang disinggung sebagai sebab tindakan terorisme.

                                           Maka, untuk memburu teroris dan memberantas terorisme di zaman seperti ini, penyelesaian masalah secara kompherensif haruslah dilakukan secara arif, teliti, dan cerdas. Stigmanisasi terhadap umat islam pasca peristiwa 11 September 2001 yang menjadikannya sebagai tertuduh, bagi sebagian umat Islam yang lain tentu semakin membangkitkan gejala perlawanan terhadap semua tindakan dan kaki tangan barat. Begitu juga dengan gejala terorisme Negara yang ditunjukan oleh Amerika dan Israel terhadap bangsa Palestina, Libanon, Irak, dan Afghanistan tentu semakin mengobarkan api peperangan bagi mereka yang sudah mempunyai potensi melawan barat. Oleh karenanya, pemberantasan teror hendaknya dilakukan dengan metode yang bersifat komprehensif, edukatif, dan jauh dari diskrriminasi dan kekerasan. Jangan sampai pesantren menjadi korban dari tindakan yang kurang memahami akar masalah terorisme.

PENUTUP

                   Dari uraian di atas dapat disimpulkan: Pertama, jihad tidak selamanya berarti perang, karena di dalam Islam jihad dapat berbentuk haji mabrur, keberanian menyampaikan kebenaran  terhadap penguasa yang zalim, berbakti kepada kedua orang tua, menuntut ilmu dan mengembangkan pendidikan, dan kepedulian, sosial. Kedua, obyek jihad adalah orang kafir yang memusuhi Islam, orang munafiq, hawa nafsu, kezaliman, kemunkaran, kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan. Ketiga, jihad adalah salah satu azas iman,amal utama dan puncak amaliah tertinggi. Keempat, termasuk jihad adalah semua upaya sungguh-sungguh memperbaiki dan kualitas kehidupan muslim baik kualitas iman maupun kesejahteraan. Kelima, Indonesia bukan wilayah dar al-harb melainkan Negara damai dan Negara dalam perjanjian karena umat Islam memiliki kesempatan dan kebebasan untuk menjalankan ajaran agamanya.